Menggapai Asa di Pendidikan Tinggi : UKT dan Realitas Kebutuhan Rakyat

loading...

RADARKAMPUS.COM | Oase saya kali ini bukan untuk membongkar semua problematic pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Jelas dalam hal ini bukan kapasitas saya sebagai penulis amatiran yang masih menyandang label mahasiswa. Focus tulisan ini lebih kepada realitas Pendidikan Tinggi saat ini dan korelasi pendidikan tersebut kepada kaum Marhaen di Desa dan Pinggiran Kota. Karena Hak untuk mendapatkan pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Dan juga merupakan salah satu hak dasar warga negara (citizen’s right)  pada BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan dalam UUD 1945 setelah amandemen Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dippertegas lagi dalam Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Hak-hak dasar itu adalah akibat logis dari dasar negara Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Indonesia adalah tanah air yang begitu kaya raya. Sampai penyair-penyair tidak pernah habis menggambarkan negeri yang elok nan rupawan ini. Sebuah negeri yang memiliki sejarah panjang tentang peradaban. Bukan sekedar imajinasi, cerita tentang sejarah negeri ini selalu membawa nuansa bahagia bagi si pendengar.  Betapa kita hidup di bumi yang tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Seharusnya dengan keadaan alam semacam itu negeri ini sudah menjadi produsen ahli dan spesialis yang handal. Memperbaiki keadaan bangsa dan Negara di tengah krisis moral dan Global influence yang sedang melanda.

Pendidikan adalah hal yang esensial bagi sebuah Negara. Menjadi media pencetak orang-orang hebat dan tenaga-tenaga ahli yang diekspektasikan mampu membawa perubahan bagi sebuah bangsa. Mampu menjawab Problematic kebangsaan yang sedang menerpa negeri, sudah semestinya pengembangan model pendidikan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Profesor dan Doktor yang berkecimpung di bidang itu.

Lembaga Pendidikan merupakan lembaga peradaban. Berfungsi memperadabkan insan-insan pemuda yang tengah gelisah mencari jati diri dan terus berusaha membongkar misteri kehidupan. Lembaga Peradaban memiliki fungsi mendidik dan mengarahkan. Mendidikan berarti memberikan satu pengajaran beserta contoh atau tindakan nyatanya, jika mengarahkan lebih kepada pemberian rambu-rambu sebagai bekal sang pelajar dalam melangkah.

Pasca Reformasi Indonesia tahun 1998 lembaga pendidikan semestinya menjadi objek reformasi yang konkrit, sebagai bentuk pembangunan sumber daya manusia baru di zaman yang baru pula. Bukan mengesampingkan peran pendidikan di era yang lampau, melainkan realited yang ada memberikan satu citra bahwa dunia pendidikan sekarang merupakan warisan rezim lama yang perlu disesuaikan sama sekali dengan jiwa zaman Reformasi. Sehingga lembaga pendidikan bukan malah menjadi lembaga komersial yang bisa diperjual belikan isi dan esensinya.

Tentang Pendidikan Tinggi, dalam harian Kompasiana yang dimuat pada 11 Januari 2014 menerangkan Uang Kuliah Tunggal atau yang sering kita sebut UKT mulai diberlakukan untuk mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014 di seluruh PTN di Indoensia. Kebijakan yang merujuk Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang, Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri dilingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dasar pemikiran UKT adalah memberikan solusi terhadap pembiayaan perkuliahan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) karena pemerintah ingin membuka peluang bagi masyarakat berekonomi menengah kebawah untuk bisa mengikuti perkuliahan di PTN. Selama ini banyak masyarakat yang mengeluhkan besarnya biaya perkuliahan di PTN yang konon katanya PTN merupakan milik pemerintah yang harus mempunyai uang kuliah rendah dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Pada dasarnya secara konsep sistem UKT itu baik, namun realitasnya kontroversial mengenai praktik penerapan kebijakan ini tidak kunjung usai hingga saat ini. Malahan masalah yang ada bertambah dan terus bertambah. Hingga di tahun 2016 ini, menjelang tahun ajaran baru bagi Universitas Negeri di Indonesia isu kurang sedap berhembus tentang kebijakan ini. Mengenai dinaikannya kembali jumlah nominal ataupun level pembiayaan UKT di masing-masing Universitas.

Dilematis memang, dengan kenyataan tersebut saya secara pribadi sulit membayangkan bagaimana keluarga kurang mampu yang notabene berasal dari keluarga yang berpendidikan rendah menyikapi hal ini. Semula orang (keluarga kurang mampu) kawatir untuk menyekolahkan anaknya, karena takut terhenti di tengah jalan. Mungkin sekarang sudah beda, bagi keluarga Marhaen Pendidikan merupakan lembaga yang menyerupai perusahaan dan bersifat komersial. Sistem operasionalnya seperti Perseroan Terbatas (PT) dari pagi sampai sore. Masing-masing Universitas mengedepankan pembangunan infrastruktur, bukan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Pembangunan SDM hanya sebagai formalitas atau proyek tanpa hasil bagi pribadi pengelola lembaga.

Tidak berlebihan rasanya jika saya beranggapan lama kelamaan Lembaga Pendidikan akan terus terkomersialisasi. Selagi sistem yang dibangun belum memihak kepada Rakyat (miskin) maka lembaga itu hanya lembaga yang dibikin untuk mencetak elit dan borjuis baru. Jika dikatakan hal tersebut akan menjadi dosa turun temurun maka benar adanya, bahwa sistem yang sudah terlampau usang memang sudah semestinya dirubah untuk diperbaharui. Bukan malah diinovasi, karena sejatinya ketika aspek yang lemah mampu terinovasi maka aspek yang burukpun ikut terinovasi pula.

Kerinduan rakyat adalah tentang pengayoman dalam segala aspek kepadanya. Maka dari itu perlu adanya orientasi baru dalam membangun sistem di Indonesia. Tanpa terkecuali sistem pendidikan. Orientasi kerakyatan perlu diterapkan dalam segala bidang. Karena dengan itulah rakyat merasa memiliki Negara. Sebaliknya, di era reformasi seperti sekarang ini jika sistem peninggalan masa yang lampau tetap dipertahankan dengan dalih pengembangan dan inovasi maka hasilnya adalah rakyat semakin termarjinalkan. Kemungkinan terburuk dari munculnya jarak yang terlalu jauh antara Rakyat dan Penguasa maka akan memicu gerakan sosial dengan intensitas gelombang yang signifikan meningkat setiap saat. Sehingga sudah sepatutnya pihak-pihak pemangku kebijakan, maupun organ-organ penyalur aspirasi mampu bersuara tentang hal ini. Supaya Lembaga Peradaban kita dapat kembali pada kitahnya yaitu sebagai Media Pencetak Ahli dan Spesialis yang berorientasi pada sistem kerakyatan dan tujuan kebangsaan.

**) Tulisan dari Ganda Febri Kurniawan, saat ini aktif sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, di tahun 2015 merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Sejarah, dan ditahun ini diamanahi sebagai Ketua BEM Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang 2016.
BACA JUGA
loading...
Labels: Opini

Thanks for reading Menggapai Asa di Pendidikan Tinggi : UKT dan Realitas Kebutuhan Rakyat. Please share...!

0 Comment for "Menggapai Asa di Pendidikan Tinggi : UKT dan Realitas Kebutuhan Rakyat"

Back To Top