Menyoal Fenomena Golongan Putih (Golput) dalam Pilkada Serentak 2015

loading...


RADARKAMPUS.COM I Tidak selamanya putih itu suci. Mungkin analogi tersebutlah yang dapat menggambarkan fenomena Golput dalam suatu pemilihan umum/ pemilihan kepala daerah. Fenomena Golongan Putih atau yang lebih santer dengan sebutan Golput secara diakronik dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk apatisme dari kegiatan politik terkhusus berkaitan patologi dalam setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Hal yang paling erat terkait dengan problematika tersebut, yaitu kesadaran politik serta budaya politik. Menanggapi hal tersebut secara realistis-faktual sebenarnya juga tidak boleh gegabah menghakimi masyarakat sebagai biang keladi penyebab kurang partisipasinya masyarakat dalam suatu pemilihan umum terkhusus pemilihan kepala daerah. Jika menganalis dari sudut pandang lain, ada beberapa faktor selain itu yang menjadi penyebab munculnya Golput. Seperti misalnya, minimnya kinerja aparatur pemerintahan sehingga menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai bentuk sinisme politik, selain itu sosialisasi politik setengah hati, dianggap setegah hati karena banyak sosialisasi politik yang justru hanya digunakan sebagai topeng kepentingan belaka, baik berupa politik pencitraan ataupun kampanye terselubung lainnya yang dilakukan para suprastruktur maupun infrastruktur politik, disisi lain juga kesejahteraan rakyat yang begitu rendah juga menjadi penyebab rendahnya partisipasi masyarakat sehingga lebih memilih menjadi Golput karena beranggapan buat apa memikirkan soal politik dan lebih baik memikirkan hidupnya sendiri, parahnya lagi, apatisme politik masyarakat kini kian diperparah kembali oleh pengetahuan masyarakat yang buruk tentang politik, buruk dalam arti pengetahuan masyarakat yang sempit mengenai politik, entah itu persepsi maupun aplikasi politik, hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam kancah perpolitikan, bahkan terkait juga dengan ketidaktahuan tentang kapabilitas ataupun sosok calon kepala daerah yang harus dipilihnya. Berikut kita simak video Pemilu resmi dari KPU. 

Menghubungkan benang merah kepada persoalan pilkada serentak 2015 penulis menganalisis bahwa penyebab lain selain yang telah disebutkan diatas, yaitu bahwa masih adanya orang / warga negara yang mempunyai hak pilih tapi tidak terdaftar sebagai calon pemilih, karena adanya kelalaian dari petugas atau kurangnya sosialisasi, selain itu jika pun terdaftar sebagai calon pemilih namun tapi tidak ikut pada saat hari H, dengan berbagai alasan, misalnya terdaftar sebagai pemilih namun bekerja jauh dari tempat terdaftar pemilih dengan tempat bekerja, misal terdaftar di Surakarta, namun bekerja di semarang ataupun sedang menempa pendidikan diluar daerahnya dan kurang mendapatkan waktu untuk kembali ke daerah asal, penyebab lainnya ialah pem­­batasan sosialisasi/kampanye sebagaimana yang di­atur Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No­mor 7 Tahun 2015 telah menyebabkan sosialisasi ten­tang keberadaan Pilkada beserta calon kepala daerah jauh melorot.

Menarik melihat fenomena golongan putih terkait hubungannya dengan pilkada serentak 2015 ini. Menelisik hasil pengamatan dari tim riset LSI bekerja sama dengan Jaringan Info Publik menyebutkan bahwa tingkat partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya di pilkada serentak 2015 masih tergolong rendah, hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mencatat partisipasi pemilih hanya 57,6% atau golput mencapai 42,4%. Angka yang kurang lebih sama juga terjadi di Pilkada Kediri, Jatim, dengan partisipasi pemilih hanya 56,3%.  Di Kota Batam, tercatat partisipasi pemilih yang lebih rendah, yakni 50,24%. Golput di daerah ini mencapai 49,7% atau hampir setara dengan jumlah pemilih yang menggunakan suaranya. Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, LSI juga mencatat tingkat partisipasi pemilih yang tergolong rendah, yakni 59,81%. Bahkan, pada beberapa daerah ditemukan partisipasi pemilih yang di bawah 50% dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) .


Walaupun begitu data di atas tetap menunjukkan salah satu patologi serius dalam pilkada serentak 2015 yang harus tetap menjadi perhatian dan dipikirkan resolusinya untuk menciptakan pemilihan kepala daerah yang partisipatif, dan benar-benar mencerminkan suara dan kehendak rakyat dalam suatu pemilihan umum. Memintasi hal tersebut Peluang untuk menekan angka golput tersebut masih dapat dilakukan bila masyarakat dibangkitkan kesadarannya untuk berperan aktif dalam memberikan suara, bila selama ini banyak kampanye mungkin kurang menarik maka kini saatnya para kandidat untuk mengemas kampanye semenarik mungkin sehingga masyarakat yang selama ini sudah apatis, bisa kembali tertarik ikut memberikan suaranya. Selain itu sosialisasi politik yang bersih, inovatif, dan kreatif, serta mengesampingkan kepentingan pribadi dan bersikap altruis dapat menjadi solusi yang efektif, namun tentu hal tersebut juga harus dilakukan secara kontinyu, berkomitmen dan dibarengi dengan sikap baik para pelaku politik dalam tataran pilkada serentak baik dari suprastruktur politiknya maupun infrastruktur politiknya. Bersikap baik disini artinya bahwa para pelaku politik tersebut harus senantiasa mengembalikan kepercayaan publik dengan bekerja secara profesional dan mengepentingkan kepentingan rakyat dengan begitu sinisme politik tentu pula akan berkurang. Solusi lainnya ialah dengan memaksimalkan pendidikan politik baik dari tingkat dasar hingga atas, masyarakat desa hingga kota, serta menivoasi dalam menyampaikannya kepada masyarakat agar mudah diterima dan dimaknai bahwa belajar memilih dengan menggunakan haknya berarti mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

*Tulisan dari Hafid Priawitantio (Mahasiswa Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang).
BACA JUGA
loading...
Labels: Opini

Thanks for reading Menyoal Fenomena Golongan Putih (Golput) dalam Pilkada Serentak 2015. Please share...!

0 Comment for "Menyoal Fenomena Golongan Putih (Golput) dalam Pilkada Serentak 2015"

Back To Top