Berbitjara Kepada Massa-Marhaen

loading...
RADARKAMPUS.COM I Nalar kota membawa mobilisasi besar-besaran masyarakat desa menuju kota-kota besar di Jawa. Seolah kemuliaan hanya bisa didapatkan di Kota semata. Orang-orang berlomba-lomba mencari status sosial yang tinggi dengan cara apapun. Melupakan hakikat hidup sebagai manusia yang tidak akan pernah cukup akan sesuatu. Mereka terus melaju cepat, meninggalkan rumah tinggal Kaum Marhaen di sudut-sudut ladang dan perkampungan kumuh di Desa.

Menyoal perkembangan kehidupan sosial, rasa-rasanya alam fikiran masyarakat Indonesia sudah terkonsep sebagaimana orang Barat menanamkan pemikiran mereka tentang Kapitalisme dan Hedonisme. Namun fikiran ini tidak terlampau jenuh untuk mengutarakan gagasan-gagasan sebagai bentuk penyebar nalar Marhaen kepada rakyat yang notabene adalah pemeran utama dalam kehidupan Bangsa.

Desa dirasa sudah tidak mampu memberikan penghidupan yang layak kepada rakyat. Mereka berbondong-bondong ke Kota dengan membawa secerca harapan tentang status sosial, relasi korporasi, dan mindset Kapitalis yang siap membom-bardir sistem sosial-ekonomi desa, setibanya mereka kembali dari perantauan yang menggiurkan itu. Padahal faktanya jauh dari kata benar. Paling untung mereka bisa berbahasa Indonesia dengan lancer sepulangnya dari Kota atau mereka membawa satu koper oleh-oleh untuk keluarga dan sanak saudara.

Program pemerataan ekonomi dari government sangat jauh dari kata berhasil. Mungkin masih berproses, namun seharusnya ada satu program monitoring percepatan pencapaian pembangunan Desa. Supaya mindset rakyat tidaklah mengandalkan kota sebagai tempat mencari sesuap nasi. Melainkan satu program untuk memupuk kembali jiwa-jiwa pekerja desa yang kuat secara fisik maupun cerdas secara sosial.

Negeri Paman Sam, sebagai Negara adikuasa yang dominasinya belum bisa tertandingi masih mengandalkan kekuatan Petani sebagai penjaga stabilitas pangannya. Di sana seorang Petani atau Farmer mendapatkan satu penghormatan luar biasa oleh Negara. Tidak ada satu anggapan yang menganggap pekerjaan sebagai seorang Petani adalah kerja yang remeh temeh dan tidak mensejahterakan. Toh, tingkat kesejahteraan hidup di sana diberitakan teramat maju dari tahun ke tahun.

Tiongkok membekali para Petaninya dengan ilmu berladang yang baik. Dengan doktrin sebagai penjaga garda ekonomi kerakyatan, petani di sana teramat percaya diri dan banyak diantara Tani-Tani itu merangkap sebagai pengusaha modern yang bergelut di bidang jasa dan keuangan. Tapi pokok kehidupan mereka sebagai petani tetap dijalankan. Karena sejatinya tidak ada satu negarapun yang bisa hidup sejahtera dengan memarjinalkan kehidupan dari Kaum Tani.

Sejak didirikan Negara ini sudah terpaut janji kepada Rakyatnya. Bahwa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah satu kesepakatan lahir yang sudah dituangkan di dalam Pancasila yang sampai sekarang masih kokoh menjadi ideologi bangsa. Satu peristiwa sejarah yang berarti penting bagi Kaum Tani dan Buruh di negeri ini adalah pergeseran kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno ke tangan Jendral Soeharto pada tahun 1967.

Sistem ekonomi kerakyatan yang berpedoman pada sistem Ekonomi Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) digeser oleh sistem ekonomi subsistensi yang memenangkan Cukong dan Pengusaha Asing di panggung percaturan politik-ekonomi Negara. Padahal dengan jumlah masyarakat yang besar, Negara ini tidak bisa mengandalkan pengusaha atau pemodal saja dalam merealisasikan Kesejahteraan Sosial atau Social Welfare.  Pengutamaan kepada Kaum Tani dan Buruh harus dilakukan. Karena menilik kembali sejarah panjang bangsa ini, serupa Majapahit dan Sriwijaya dapat menjadi Kemaharajaan yang besar karena orientasi ekonominya berpijak pada sektor Agraris dan Maritim.

Reformasi tidak bisa menanggalkan corak ekonomi subsistensi Orde Baru di dalam perjalanannya. Sistem yang memeras keringat rakyat hanya untuk kepentingan sebagian kecil golongan penguasa dan pengusaha ini sudah terlampau usang dan harus sesegera mungkin diperhatikan oleh Pemerintah. Supaya keadaan semacam ini tidak berlarut-larut dan kepercayaan diri Petani dan Buruh dapat dikembalikan.

Tidak ada yang dituntut untuk menjadi Petani di negeri ini. Ini adalah opini yang saya sampaikan saat berdiskusi soal “Menggagas Ekonomi Kerakyatan”. Fakta dilapangan, Sarjana Ilmu Pertanian dididik bukan untuk menjadi Petani yang brilian. Namun mereka disulap menjadi elit yang berlebel akademisi semata. Kinerja mereka tidak signifikan menunjang kinerja dan produktifitas Petani. Melainkan mereka menjadi peninjau kualitas tanah pertanian yang sudah tidak produktif dan didalihkan dapat dijadikan lahan pendirian bangunan.

Masa depan bangsa Indonesia tanpa Petani adalah sebuah keruntuhan keniscayaan. Program penyejahteraan Petani oleh Pemerintahan Kerja ala Presiden Jokowi belum sama sekali mampu menembus ke ranah Petani yang serendah-rendahnya. Di sudut perkampungan di seluruh pulau di Tanah Air sebagian besar belum merasakan realisasi konsep Ekonomi Kerakyatan yang di gagas Presiden beserta Kabinetnya.

Pergulatan pemikiran global yang membelenggu kehidupan nasional mengancam pemikir-pemikir ekonomi kerakyatan. Semakin membesarnya Kapitalisme yang terpupuk oleh sifat hedonis sebagian besar masyarakat Indonesia memperparah keadaan ekonomi domestic. Terjajah namun diam, adalah satu kalimat yang sesuai untuk menggambarkan situasi nasional saat ini. Kaum Marhaen mengerang keras, namun suaranya terbungkam oleh sistem ekonomi siluman yang dibuat oleh konspirasi barat.

Membebaskan kembali Pemikiran Marhaenisme yang selama ini terpenjara oleh golongan harus dilakukan. Reaktualisasi konsep dan pemikiran juga perlu dan teramat sangat perlu sebagai bentuk upaya menghidupkan kembali jiwa Rakyat yang progresif dan siap melaju dalam gerbong pembaharuan. Karena untuk dapat menghidupi Petani dan Buruh tidak hanya cukup dengan cangkul dan sarung tangan melainkan yang lebih penting daripada itu ialah pemikiran. Marhaenisme ini adalah satu konsep yang lahir dari proses pemikiran sistem ekonomi kerakyatan oleh Soekarno muda. Karena Kaum yang setia dan siap membela Negara sampai jauh adalah mereka, Petani dan Buruh.
Desa sebagai rumah bagi Kaum Tani harus diberi perhatian yang lebih. Percepatan pembangunan bukan hanya innfrastruktur, melainkan membangun iklim pemikiran dan kondusifitas kerja adalah yang utama. Agar sumber daya manusia dapat meningkat dan rakyat sebagai tulang punggung Negara dapat hidup bahagia dengan senyum mengembang diwajah mereka. Negara punya andil besar dalam hal ini. Sistem ekonomi yang berpihak kepada Asing hanya akan melemahkan legitimasi pemerintahan dan memperburuk keadaan.

Zaman sudah berganti, sudah seharusnya pemikiranpun berkembang. Marhaenisme sebagai ideologi pemikiran rakyat pekerja adalah modal bagus untuk membangun kualitas manusia terutama Petani, Buruh dan Pekerja sekecil-kecilnya. Tanpa meninggalkan nilai-nilai Pancasila, Marhaenisme dirasa masih teramat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang. Maka dari itu gagasan dan konsep untuk mengembalikan marwah Marhaenisme menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia adalah proyek utama Negara dan bangsa. Supaya seperti yang sudah saya katakana diawal, mengembalikan kepercayaan diri Petani dan Buruh sebagai pekerja penopang ekonomi nasional yang bertumpu pada pemikiran ekonomi kerakyatan.


*Tulisan dari Ganda Febri Kurniawan merupakan Mahasiswa Sejarah UNNES angkatan ’13, saat ini sebagai Ketua BEM FIS Unnes 2016, ia juga merupakan Ketua HIMA Sejarah FIS Unnes 2015.
BACA JUGA
loading...
Labels: Opini

Thanks for reading Berbitjara Kepada Massa-Marhaen. Please share...!

0 Comment for "Berbitjara Kepada Massa-Marhaen"

Back To Top