loading...
sumber ilustrasi diakses melalui http://sukasosial.blogspot.com
RADARKAMPUS.COM I “Agent Of Change” (Telaah Das Sein dan Das Sollen) – Pemuda, pemimpin, dan perubahan, tiga key word tersebut tampaknya akan tetap menjadi sebuah diskursus yang tidak akan pernah “kering” untuk diperbincangkan. Tak heran, muncul adagium “pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok”, setidaknya hal tersebut merupakan salah satu representasi yang mesti dipahami sebagai tuntunan dan stimulus dalam meningkatkan “konsistensi” dan “stabilitas” pemuda menuju orientasi yang lebih baik. Secara “definitif” seseorang dianggap sebagai pemuda jika dari sisi usia adalah dalam bentangan usia 16-30 tahun. Toh, dalam optik lain, seseorang bisa saja mengklaim muda jika yang bersangkutan memiliki semangat sebagaimana kaum muda meskipun telah berumur lebih dari 30 tahun. Maka, tidak berlebihan jika pemuda kerap diekuivalenkan dengan perubahan karena peran pemuda sangat menentukan di masa yang akan datang. Bahkan, tidak mengherankan pula berkat kapabilitas tersebut pemuda memperoleh predikat sebagai “agen perubahan” (agent of change).
Namun dewasa ini,
dalam kacamata faktual, masyarakat tengah terjerambak dalam turbulensi moral
yang cukup pelik, tak terkecuali generasi muda. Globalisasi yang acapkali ditakrifkan
sebagai “dunia tanpa batasan”
memberikan berbagai dampak yang cukup signifikan terutama penyimpangan moral
psikologis masyarakat Indonesia, khususnya para pemuda. Eforia globalisasi
telah meninabobokan pemuda dalam jurang serba “instan”. Merunut lebih dalam,
mulai terjangkit dan terjebaknya pemuda dalam sindrom hedonis, menyebabkan
implikasi besar yang menyeret pemuda dalam kerangka berpikir yang dangkal, dan
akan menyebabkan disekuilibrium serta berkurangnya produktifitas pemuda dalam
pembangunan bangsa. Hal ini menjadi sebuah ironi dan tantangan tatkala gerak
globalisasi yang membawa “pop culture”
ini terus berkembang dan menyetir berbagai aspek kehidupan manusia tanpa mampu
terbendung.
Permasalahan yang muncul dan menggejala
lainnya ialah, perkembangan teknologi yang semakin deras. Hal ini, setidaknya telah membentuk gap dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana
pendapat yang dilontarkan oleh Soegeng Koesman (2009: 167) bahwa kemajuan di
bidang ilmu pengeahuan dan teknologi belum tentu selalu menguntungkan atau
membawa dampak positif yang membahagiakan. Sebut saja “gadget”. Perkembangan teknologi telah menjadikan “gadget” sebagai sebuah gaya hidup bahkan
menjadi kebutuhan bagi sebagaian besar masyarakat khususnya generasi muda. Contoh,
di tahun 2013 saja berdasarkan data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika
mencatat penggunaan “gadget” di
Indonesia telah mencapai angka 240 juta unit.
Tidak keliru pula,
bila istilah “asyik dengan dirinya
sendiri” telah melekat pada diri pemuda. Selain itu, beberapa realitas
dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Alih-alih takut ketinggalan zaman
atau Gagap Teknologi (Gaptek), banyak
pula generasi muda lebih memilih “meninting” dan “hidup” bersama “gadget”-nya dimanapun dan kapanpun ia
berada. Memutuskan mengupdate
teknologi (gadget) yang dimilikinya
daripada mengupdate dan menyelami informasi
yang berkaitan dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kesenjangan
pendidikan, konflik suku agama dan ras, dominasi produk asing, korupsi,
pengangguran, serta narkoba, yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia. Memang
tidak semua, namun secara parsial merupakan sebuah realita bahwa kepekaan,
dukungan, kepedulian, dan rasa memiliki untuk berpartisipasi generasi muda dalam
kehidupan sosial telah terdistorsi dari waktu ke waktu.
Reimajinasi Peran Pemuda dalam
Distorsi Arus Globalisasi
Potret generasi muda
Indonesia kian hari mengalami catatan buram akibat prilaku dan kepribadian
mereka yang tidak memiliki mental baja dalam menghadapi setiap persoalan yang
muncul (Ilahi, 2012: 52). Sudah sewajarnya banyak kalangan mempertanyakan,
peran dan tanggung jawab pemuda yang seharusnya “tampil” sebagai role model dalam menyelesaikan berbagai
problematika bangsa. Lebih detail, potret pemuda dewasa ini cenderung bermental
“inlander” membungkuk di hadapan
bangsa lain. Contoh, seorang pemuda yang lebih memilih menghabiskan waktunya
dengan berfoya-foya dalam dunia gemerlap malam ketimbang berdiskusi menyikapi kesenjangan
sosial di sekitar mereka. So far, hal
ini cenderung akan menjauhkan mereka dari realitas-realitas sosial dan
pembelajaran hidup yang esensial, seperti halnya berinteraksi, berbagi, dan
bersosialisasi.
Meskipun secara
parsial, tidak ada yang salah dengan “globalisasi”. Namun, pengaruh globalisasi
dan berbagai faktor internal dalam diri pemuda setidaknya semakin mendesak
dengan berbagai distorsi nilai yang ditawarkannya. Biarpun demikian, tidak ada
manfaatnya menyalahkan dan mengkambinghitamkan sikap pemuda dalam memandang
globalisasi, sebagai pangkal permasalahan bangsa. Coba kita lihat kembali,
bagaimana globalisasi memiliki sifat multifaset yang menimbulkan banyak
prespektif dalam memaknainya. Faksi pro
memiliki tendensi bahwa globalisasi memiliki dampak positif, sedangkan dalam
optik yang berseberangan faksi kontra
beranggapan sebaliknya. Oleh sebab itu, penting kaitannya pemuda mampu mengambil
sikap, mengimajinasikan, dan mengurai
kembali benang merah serta gambaran utopis negeri ini. Hal ini sebagai sebuah ikhtiar
dalam menjawab tantangan dan peluang yang ditawarkan oleh globalisasi.
Dalam konten ini,
meskipun imajinasi hanya berupa angan-angan; khayalan yang bersifat abstrak,
akan tetapi jangan lupakan bahwa “everything start from a dream”. Kerangka
kerja (frame work) dalam reimajinasi
peran pemuda ialah mengimajinasikan kembali mimpi-mimpi rakyat yang terdistorsi
oleh perkembangan zaman dan teknologi terhadap perubahan yang seharusnya
diperankan oleh generasi muda. Sebut saja, seorang pemuda harus mampu begerak
secara inovatif, strategis, dan solutif, sebagai aktor perubahan dalam panggung
globalisasi. Contoh, lawan kemiskinan dengan usaha kreatif, lawan kebodohan
dengan usaha keilmuan. Ya! tak perlu lagi kita skeptis – talk less do more, apa yang kita katakan
ialah yang apa kita lakukan, dengan demikian harapan untuk menemukan kembali
masa depan Indonesia bukanlah sesuatu yang “imajiner”.
Lebih detail, mengapa
pemuda perlu membangun kembali kepekaan sosial dengan cara mengimajinasikan dan
mendekontruksi kembali keberadaan dirinya sebagai bagian dari komunitas
sosial?. Ya, bagaikan sebuah “virus” reimajinasi
peran pemuda dimanifestasikan mampu menjadi bayang-bayang pemuda dalam memahami
peranan dan kewajibannya sebagai “agent
of change”. Mari pemuda “think out
the box”, kepekaan pemuda (baca:
sejarah pergerakan pemuda) merupakan realitas historis yang tidak bisa
dipisahkan dalam perubahan bangsa. Mari pemuda, kalo bukan kita siapa lagi?
Kalo bukan sekarang kapan lagi?.
BACA JUGA
loading...
Labels:
Opini
Thanks for reading Reimajinasi Peran Pemuda: Ikhtiar Mewujudkan “Kepekaan Sosial” di Tengah Distorsi Arus Globalisasi. Please share...!
0 Comment for "Reimajinasi Peran Pemuda: Ikhtiar Mewujudkan “Kepekaan Sosial” di Tengah Distorsi Arus Globalisasi"