loading...
RADARKAMPUS.COM I Ketika
kita menginjakan kaki dan berkeliling di Kota Semarang, maka kita terasa
kembali bernostalgia dengan masa lalu. Romansa sejarah yang begitu kuat dan
mengakar mampu merasuki setiap orang yang sedang berkunjung ke Kota Semarang.
Banyak bangunan kuno yang menjadi saksi bisu sebuah peradaban yang pernah
terbangun di kota ini. Semarang tidak hanya bercerita tentang Lawang Sewu yang
dulu merupakan sebuah kantor Djawatan Kereta Api pertama di Indonesia yang
konon angker dan mistis atau tugu muda yang bercerita tentang simbol semangat
patriotisme pemuda semarang mempertahankan kemerdekaan dengan melakukan
perlawanan kepada kaum kolonialisme yang biasa disebut pertempuran lima hari.
Namun, bukan hanya itu saja Semarang juga bercerita tentang sebuah nilai
toleransi yang begitu tinggi antar umat beragama.
Cinta Kasih adalah Agama Saya - Dalai Lama
Agama sebagai
keyakinan tentu menjadi hak setiap warga negara yang dijamin UUD 1945. Setiap
warga negara bebas untuk menentukan dan memilih keyakinanya tanpa paksaan dan
ancaman. Islam sebagai agama mayoritas warga Semarang tumbuh, berkembang, dan
mempunyai sejarah panjang. Kita sering mendengar tentang cerita Kyai Ageng
Pandanarang sebagai tokoh penyebar agama Islam di Semarang yang juga menjadi
bupati Semarang pertama dan menandai cikal bakal Kota Semarang. Atau mendengar
cerita tentang Soen An Ing yang biasa dikenal oleh warga Semarang sebagai Sunan
Kuning yang juga tokoh penyebar agama Islam di Semarang dan merupakan warga
keturunan Tionghoa. Selain itu pula, pasti kita sudah mendengar cerita tentang
Laksamana Agung keturunan Persia sebagai panglima utusan dari negeri tirai
bambu Cheng Ho yang beragama Islam dan berlabuh di pulau jawa pertama kali
adalah di Kota Semarang sekaligus menyebarkan agama Islam. Simbol kebesaran
Islam bisa kita jumpai di sudut-sudut Kota Semarang seperti Masjid Agung Jawa
Tengah yang bangunanya mirip dengan arsitek Masjid khas Timur Tengah, Masjid
Raya Baiturrahman di kawasan Simpang lima dan Masjid Kauman terletak tidak jauh
dari kompleks pecinan Semarang dan pasar Johar yang bangunanya kental sekali
dengan bangunan jawa.
Ketika kita
berkunjung ke daerah kota lama di sebelah timur Kota Semarang maka kita akan
melihat sebuah bangunan yang unik dan bernuansa eropa berkubah bulat. Ya,
itulah sebuah gereja tua yang dibangun pada tahun 1753 oleh arsitek Belanda
yang biasa disebut Gereja Blenduk oleh orang Jawa karena terlihat seperti
menggelembung (mblenduk). Gereja tua
tersebut sampai sekarang masih aktif sebagai tempat ibadah umat Kristiani dan
juga sebagai ikon wisata Kota Semarang. Gereja ini terletak di kawasan kota lama
dekat dengan pasar Johar dan kantor Pos Besar. Pasar Johar merupakan pasar yang
sudah cukup tua dan mempunyai sejarah panjang dan dibangun pada masa
pemerintahan kolonial serta pernah mendapat predikat sebagai pasar terbesar di
Asia Tenggara. Gereja yang menyimpan nilai sejarah panjang juga terdapat di
gereja Katederal Semarang yang terletak dekat dengan Lawang Sewu dan Tugu Muda.
Simbol gereja ini menandakan perkembangan umat kristiani di Kota Semarang.
Selanjutnya adalah
simbol kebesaran agama Hindu yang ada di Semarang terdapat di Pura Agung
Girinatha. Ketika anda berada di Semarang dan ingin merasakan suasana di Bali
maka datanglah ke Pura Agung Girinatha yang terletak di wilayah Gajahmungkur.
Dari Pura ini kita juga bisa melihat pemandangan Kota Semarang yang mempesona
karena pura tersebut terletak tepat di dataran tinggi Semarang sehingga bisa
dengan jelas melihat pemandangan di bawahnya. Untuk berkunjung ke tempat suci
bagi agama hindu ini tidak sembarangan, ada beberapa syarat khusus yang harus
dipatuhi oleh pengunjung untuk bisa sekedar berkunjung ke Pura Agung Girinatha.
Bagi kaum penganut
Budha maka di Semarang juga terdapat simbol kebesaran berupa bangunan Vihara
dan Pagoda. Vihara Buddhagaya Watugong yang terletak di wilayah Banyumanik
adalah sebuah Vihara bagi umat Budha. Di Vihara Buddhagaya Watugong terdapat
sebuah bangunan unik yaitu Pagoda Avalokitesvara. Pagoda Avalokitesvara
memiliki tinggi bangunan setinggi 45 meter dengan 7 tingkat, yang mempunyai
makna bahwa seorang budha akan mencapai kesucian dalam tingkat ketujuh. Di
Vihara ini terdapat sebuah patung Dewi Kwam Im (Dewi Welas Asih) yang menghadap
ke seluruh penjuru mata angin sebagai bentuk harapan kepada sang dewi untuk
memberikan kesejahteraan keseluruh penjuru. Bangunan Vihara ini tentu
mengadaptasi dari bangunan di Tiongkok, sehingga ketika kita sedang berada di
kompleks Vihara ini maka serasa berada di negeri tirai bambu. Dan kebesaran
kaum Budha di Semarang juga terletak di kawasan Marina Semarang, yaitu Vihara
Mahavira Graha. Vihara ini merupakan Vihara terbesar di Jawa Tengah yang
memiliki 7 lantai dan ratusan patung budha di sekitarnya.
Semarang juga menjadi
sejarah bagi etnis tionghoa di Indonesia yang menganut agama Tao dan Kong Hu
Cu. Di salah satu sudut Kota Semarang terdapat sebuah pemukiman penduduk yang
mayoritas merupakan warga keturunan Tionghoa, yang biasa disebut kompleks
pecinan Semarang. Kompleks pecinan Semarang terletak di kawasan Wotgandul dan
terbagi menjadi 4 kawasan sesuai dengan jumlah mata angin, gang pinggir
(Pecinan wetan),gang tengah (Pecinan tengah), gang Baru (Pecinan kulon) dan
gang warung (Pecinan lor). Khusus gang terakhir merupakan sebuah tempat wisata
kuliner bagi warga Kota Semarang karena pada akhir pekan, terdapat berbagai
warung jajanan yang berada di tengah gang dan biasa disebut Pasar Semais.
Berbagai kuliner dari Semarang dan Tionghoa dijajakan disini dengan harga yang
relatif terjangkau. Kawasan pecinan merupakan sebuah pemukiman yang menegaskan
bahwa sejarah etnis tionghoa sudah kuat dan mengakar di Kota Semarang. Berada
di kawasan ini kita seolah-olah sedang berada di Tiongkok karena bangunan dan
interaksi sosial budayanya sangat kental sekali dengan tiongkok, ditambah
diberbagai tempat klenteng atau kuil banyak sekali ornamen khas tiongkok
seperti lampion, patung, altar dan yang lainya. Di Pecinan terdapat banyak
sekali klenteng (kuil), jika dihitung ada 11 klenteng yang ada. Klenteng Siu
Hok Bio, Klenteng Tek Hay Bio, Klenteng Tay Kak Sie dan masih banyak lainya
menegaskan bahwa agama Kong Hu Cu dan Tao sudah mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Klenteng yang terdapat di kawasan Pecinan dibangun pada tahun 1700-1800.
Sebelumnya, perkampungan pecinan ini berlokasi di wilayah Simongan, tempat
petilasan Laksamana Agung Cheng Ho berupa Goa dan disebut Gedung Batu yang
akhirnya menetap dan beranak pinak di wilayah itu yang kita kenal dengan
Klenteng Sam Po Kong, namun pasca pemberontakan etnis tionghoa di Batavia yang
merembet hingga ke timur, pemerintah VOC memindahkan lokasinya ke wilayah
Pecinan sekarang.
Indonesia tak luput dari sebuah keragaman yang terbentuk berdasarkan Agama, Suku, Ras dan Antar Golongan. Ketika kita membaca sejarah maka negara ini dibangun atas dasar perbedaan dan kemajemukan sehingga slogan negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi satu jua. Perbedaan dipandang sebagai alat pemersatu, bukan pemecah belah. Dengan perbedaan kita menjadi saling menghormati dan menghargai. Sehingga sikap toleransi harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Akhir-akhir ini,
toleransi antar umat beragama mengalami degradasi. Toleransi makin hilang
karena munculnya kepentingan sebagian golongan yang mengkalim tentang kebenaran
secara sepihak, padahal sejatinya semua agama adalah mengajarkan nilai-nilai
kebaikan antar sesama. Toleransi merupakan sebuah interaksi bagi kita warga
negara untuk terus menguatkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Setiap
manusia yang diturunkan oleh Tuhan membawa misi menjalankan kebaikan untuk alam
semesta dan seisinya tanpa pandang bulu adanya perbedaan.Hak setiap manusia
harus diberikan ruang untuk menjalankan sebagaimana yang ia yakini tanpa adanya
sekat atas nama Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan. Perbedaan yang seharusnya
bisa menjadi pemersatu seolah-olah dijadikan sekat untuk memisahkan antara umat
yang satu dengan yang lainya. Toleransi dan empati harus menjadi panutan bagi
semua manusia sebagai pondasi dalam hidup dalam keberagamaan,karena yang
namanya perbedaan merupakan sebuah keniscayaan.
Toleransi yang tinggi
di Semarang dintandai dengan adanya simbol-simbol kebesaran agama seperti
bangunan tempat ibadah yang megah dan mempunyai nilai sejarah tinggi. Simbol
ini menegaskan bahwa perkembangan agama di Semarang cukup pesat, namun tidak
pernah terdengar adanya gesekan antar umat beragama yang memicu konflik
horizontal dan kekerasan terhadap kaum-kaum minoritas atas dalih agama.
Interaksi sosial antar umat beragama begitu hangat, seakan tak ada pembeda bagi
para pemeluk agama. Mereka hidup bersama, saling menghormati dan bergotong
royong dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Semarang sebagai ibu kota
provinsi Jawa Tengah tentu menarik minat para warga di daerah sekitar untuk
datang mengadu nasib mencari nafkah. Sering kita jumpai berbagai etnis melebur,
membaur seolah tidak ada sekat. Bagi kaum pendatang, tentu Semarang menjadi
rumah yang nyaman bagi mereka. Disini kita bisa bertemu orang dari suku jawa,
tionghoa dan yang lainya.
*Tulisan dari Hanendya Disya Randy Rahardja (Pejuang Skripsi Fisika Unnes/2011)
BACA JUGA
loading...
0 Comment for "Semarang dan Nilai Toleransi"