loading...
RADARKAMPUS.COM I Dalam
dunia ini kemajemukan adalah keniscayaan. Setidaknya itulah kalimat yang cocok
untuk menggambarkan betapa kompleksitas dunia yang diisi oleh beragam perbedaan
manusia yang ada didalamnya. Bahkan Tuhan saja menciptakan manusia berbeda
bukan seragam itu sebagai bukti
kekuasaan Tuhan Yang Maha Dasyat. Mengulur lurus dari itu, kita sadari bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibangun diatas keberagaman, yang saling
mengisi diantara ruang-ruang kebangsaan, menjadi partikel-partikel yang saling
mengisi dalam rumusan kebhnikeaan.
Kontekstualisasi keberagaman
bangsa Indonesia terdiferensiasi kedalam berbagai macam sendi kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa, mulai dari kepercayaan, agama, bahasa, adat istiadat, lingkaran
hukum, ras sampai suku bangsa yang jumlahnya ratusan, belum lagi
perbedaan-perbedaan dalam skrup yang lebih kecil misalnya satu suku saja
memiliki dialektika bahasanya berbeda, contohnya suku jawa, ada bahasa jawa
halus, bandek sampai ngapak. Perbedaan-perbedaan yang ada itu kemudian melebur
kedalam konsep satu nama yaitu Indonesia.
Founding Father bangsa ini telah menyadari bahwa pluralitas bangsa ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, ini dibuktikan bahwa semboyaan kebangssaan “Bhineka Tunggal Ika” bukanlah muncul pada saat persiapan kemerdekaan tapi telah tertulis dengan rapi dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular yang hidup pada masa kerajaan Majapahit. Artinya secara historis kemajemukan bangsa ini bukanlah sesuatu yang baru saja disadari, tetapi telah tumbuh dan berkembang pada saat kesadaran atas nama Indonesia itu belum ada.
Diabad Ke-21 isu
perbedaan kemudian semakin meruncing ditengah maraknya etnosentrisme dan ego
sektoral yang tidak bisa memahami keberagaman, membuat mereka semakin tebal
dengan nir-toleransi. Semua itu akhirnya bermuara pada konflik SARA yang
semakin bermunculan dewasa ini. Namun
lagi-lagi bangsa kita masih punya banyak tokoh pluralisme yang berjuang untuk
kemanusiaaan, salah satu contohnya adalah
Presiden RI ke-4 Almahum Almargfullah KH. Abdurahman Wahid atau yang
familiar dipanggil Gus Dur. Peran beliau dalam mendengungkan dan
mengkampanyekan kesadaran keberagaman mengantarkan sang guru bangsa ini layak
dan pantas disebut sebagai bapak pluralisme. Berbagai kebijakan yang dulunya
memarjinalkan, namun pada saat beliau memerintah Republik ini justru semakin
dihilangkan, contohnya pengakuan terhadap agama Kong Hu Cu, meresmikan hari
raya imlek (pada awalnya masih fakultatif), memberi otonomi kepada dan penamaan
Papua, dan beberapa kebijakan yang pada masanya dianggap “nyleneh” tapi pada
era sekarang ini justru diakui sebagai suatu kemajuan terhadap pengakuan
persamaan.
Mendiaspora kesadaran
keberagaman, semestinya dilakukan secara masiv untuk mencegah adanya konflik
sara, radikalisasi ataupun makar, dapat melalui berbagai saluran pendidikan,
media massa baik cetak eletronik. Selama ini dalam aspek pendidikan belum masuk
dalam mata pelajaran khusus, hanya ada beberapa sub bab, padahal pendidikan
mutikultural dalam konteks ke Indonesiaan sangatlah penting dan dibutuhkan.
Dalam media massa dan elektronik juga genderang ajaran toleransi kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa jarang sekali disuguhkan. Kemajuan teknologi dan informasi
ditengah arus globalisasi juga tidak dapat dimaksimalkan dengan baik oleh para stockholder.
dibidang pertelevisian yang sekarang sudah menjangkau diseluruh penjuru negeri.
Justru berbagai tayangan televisi yang ada banyak didominasi oleh tayangan
sinetron yang kurang mendidik dan lebih mengutamakan soal rating dan keuntungan
pasar. Padahal penikmat sinetron adalah kebanyakan usia anak-anak sampai
remaja, tentu sangat reliable apabila kampanye tentang keberagaman, kemajemukan
maupun pluralitas dibungkus secara menarik dalam program pendidikan multikultural.
Belajar pada
Upin-Ipin
Malaysia adalah
Negara tetangga yang juga penduduknya cukup beragam seperti melayu, Tionghoa,
India, meskipun tak se kompleks Indonesia, tetapi mereka punya cara jitu untuk
mengkampayekan nilai-nilai toleransi pada anak-anak maupun remaja salah satunya
melalui program serial kartun Upin-ipin. Ternyata serial inipun laris manis
tayang di Indonesia dan juga banyak penikmatnya dari berbagai kalangan, karena
kartun ini dianggap lucu, gurih dan tentu menjadi alat belajar yang efektif
–jika menonton ini didampingi orang tua-.
Serial kartun animasi
Upin-Ipin menceritakan kehidupan anak kembar yang usianya masih belajar pada
Taman Kanak-kanak. Bagaimana kehidupan dua bocah kembar ini di rumah, di
sekolah sampai di tempat bermain. Semuanya memiliki makna tersurat yang menjadi
pesan moral bagi pemirsanya. Sekilas memang terlihat biasa saja seperti
anak-anak Indonesia pada umunya, tapi jika kita cermati lebih jauh ada
nilai-nilai toleransi yang dibangun disana.
Nilai toleransi itu
yang paling kental adalah saat adegan di sekolah, bagaimana kemudian Upin dan
Ipin sebagai representasi warga Malaysia bersekolah bersama dengan orang india
yang diwakili Jarjit Singh, bertemu Memey sebagai perwakilan kalangan etnis
Tionghoa serta beberapa nama seperti Mail, Fizi dan Ehsan, yang juga seorang
Malaysia, juga ada nama Susanti yang datang dari Indonesia. Mereka dengan
mudahnya membaur dalam satu kelas dengan gaya asli suku masing-masing, Jarjit
dengan suku Indianya, Memey yang bangga akan identitas Tionghoanya dan tentu
Upin dan Ipin dkk yang gagah dengan asli melayunya.
Namun semuanya tak
pernah berselisih paham soal perbedaan itu, justru mereka hidup berdampingan
bahkan tidak hanya disekolah tetapi justru ditempat bermainpun mereka semakin
asyik dengan perbedaan itu. Menariknya ada beberapa adegan yang juga
mengajarkan toleransi umat beragama, contohnya ketika Upin dan Ipin berpuasa di
bulan Ramadhan dan merayakan lebaran justru memey dan Jarjit juga ikut
menikmatinya, dan ketika memey sibuk
dengan upacara maupun perayaan keagamaan yang diyakininya, juga upin, ipin dkk
terlihat juga menyambangi kediaman memey. Serial ini mengajarkan kita bahwa
kepolosan anak-anak yang berteman tanpa syarat (entah itu syarat agama, kepercayaan,
suku bangsa, dsb) harus diutamakan. Berbaurlah kita sebagai umat manusia, begitulah
kira-kira pesan moral yang ingin disampaikan. Perbedaan harus dihormati bukan
untuk menjauhkan tapi justru untuk mensykuri Khazanah Tuhan YME.
Sebagai bangsa Indonesia
yang penuh dengan indahnya kemajemukan rasanya kita jenuh akan sinetron, serial
kartun ataupun film layar lebar yang isinya hanya soal permasalah hidup bahkan
didominasi soala asmara dan percintaan. Berbagai film serial sinetron justru
muncul dengan judul yang cukup aneh dengan abtraksi yang sangat tidak jelas,
belum lagi adegan-adegan kekerasan yang sangat rentan ditiru anak-anak.
Persoalan ini semakin rumit dengan ditambah jam tayang sintron televisi adalah
jam kisaran 18.30-21.00, padahal ini
adalah jam belajar anak-anak. Uniknya mayoritas orang tua tidak menyadari hal
itu justru mereka larut bersama menikmati suasana adegan-adegan yang
membahayakan psikologis mereka.
Akhirnya kita sadar memang
berada dalam arus globalisasi, namun kita juga harus sadar identitas kita sebagai
bangsa majemuk. Tontonan televisi adalah
bagian dari derasya era kejaegadan, namun alangkah eloknya kalau kemudian itu
menjadi sarana mendidik anak-anak yang notabene adalah generasi masa mendatang
dengan totonan yang berkualitas yang sadar akan pribadinya, lingkungannya dan bangsanya
dengan segenap tanggung jawabnya. Mulai sekarang jangan biasakan anak-anak “nongkrong” sehabis
maghrib di depan televisi, sementara ruang belajaranya hampa, meja belajarnya
rapid an sunyi, serta buku pelajarannya dan segenap PR nya kesepian tanpa
sentuhan.
*Tulisan Ulul Mukmin, S.Pd. (Guru PPKn Semesta Boarding School Semarang).
BACA JUGA
loading...
Labels:
Opini
Thanks for reading Belajar Keberagaman pada Serial Animasi Upin Ipin. Please share...!
0 Comment for "Belajar Keberagaman pada Serial Animasi Upin Ipin"