Determinan Kemenangan Calon Wali Kota Independen dalam Pilkada Serentak 2015 di Tanjung Balai, Sumatera Utara

loading...
RADARKAMPUS.COM I Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015 tengah menjadi topik hangat dalam perbincangan khalayak umum baik itu dalam lingkungan akademik maupun dalam lingkungan masyarakat biasa. Hal ini menjadi suatu kewajaran mengingat pilkada serentak skala nasional baru ada pertama kali tanggal 9 Desember 2015 sepanjang sejarah Indonesia. Pelaksanaan pilkada serentak sebagai implementasi pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwasannya kepala daerah dipilih secara demokratis. Pasal ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 perubahan atas Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pemilihan secara demokratis ini dimaksudkan untuk menanggulangi calon-calon tumpangan kepentingan partai. Hal ini terjadi jika pilkada dilaksanakan secara tidak langsung yaitu melalui DPRD.

Pada tahun-tahun sebelumnya pernah dilaksanakan pilkada serentak dalam lingkup lokal yang dimulai dari lingkup provinsi, lokal Aceh, disusul lokal Sumatera Barat. Baru di tahun ini pilkada skala nasional diselenggarakan dalam menentukan Gubernur, Walikota dan Bupati. Pilkada serentak 2015 dibagi dalam tujuh gelombang dimana gelombang pertama tanggal 9 Desember 2015 diikuti oleh 8 Provinsi, 170 Kabupaten dan 26 Kota. Gelombang ke dua akan dilaksanakan pada Februari 2016 dan gelombang ke tiga akan dilaksanakan pada Juni 2018. Pilkada serentak gelombang keempat akan dilaksanakan pada 2020 untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015. Pilkada serentak gelombang kelima akan dilaksanakan pada 2022 untuk kepala daerah hasil pemilihan pada Februari 2017. Pilkada serentak gelombang keenam akan dilaksanakan pada 2023 untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018. Kemudian, dilakukan pilkada serentak secara nasional pada 2027. Jadi mulai 2027, pilkada dilakukan secara serentak di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, untuk seterusnya dilakukan kembali tiap lima tahun sekali. (http://kpu-parimokab.go.id/)

Pelaksanaan dari pilkada serentak gelombang pertama sudah banyak fenomena yang layak dikaji, mulai dari kemenangan para incumbent, kemenangan calon independen, dan ada pula kekalahan petahana. Salah satu fenomena yang menarik terjadi di pilkada serentak Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Pemilihan kepala daerah di Tanjung Balai dalam pemilihan walikota tersebut diikuti oleh empat pasang calon walikota dan wakil walikota, calon-calon tersebut yaitu Milvan Hadi – Tengku Dirkhansyah Abu Subhan Ali (Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)), Rolel Harahap – Romay Noor (Partai Gerindra, Partai Hanura dan Partai Nasdem), Hamlet Sinambela – Surya Darma AR (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)) sementara M Syahrial – Ismail calon independen.

Fenomena yang menarik dalam pilkada Tanjung Balai adalah kemenangan M Syahrial dan Ismail yang merupakan satu-satunya calon independen dalam pemilihan walikota tersebut. Dari data real count KPU (quick-count-pilkada.blogspot.co.id) Tanjung Balai didapat data suara untuk paslon Milvan Hadi – Tengku Dirkhansyah Abu Subhan Ali sejumlah 13491 Suara (18,19%), paslon Rolel Harahap – Romay Noor memperoleh suara sejumlah 15412 Suara (20,79%), paslon Hamlet Sinambela – Surya Darma AR mendapat 10107 Suara (13,63%) dan paslon independen, M Syahrial – Ismail dengan jumlah suara 35139 Suara (47,39%). Paslon independen ini mampu mengalahkan tiga rivalnya dengan jumlah suara yang cukup jauh perbedaannya.

Hasil pilkada di Tanjung Balai ini menjadi perhatian khusus dimana satu paslon independen mampu mengalahkan paslon – paslon yang lain, termasuk calon incumbent, Rolel Harahap. Faktor kemenangan dari M Syahrial – Ismail ini dapat dilihat dari dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan langsung dengan subjek, sedang faktor eksternal ialah faktor yang tidak berkaitan langsung.

Faktor internal yang pertama yaitu perjalanan karir politik yang cukup bagus. Seperti yang telah diketahui, M Syahrial merupakan mantan Ketua DPRD Tanjung Balai periode 2014 – 2019, dalam perjalanan karir politiknya diawali dari anggota legislatif (DPRD dari Partai Golkar) yang menduduki posisi ketua dewan pada usia yang masih tergolong muda yaitu 27 tahun. Selama menjabat sebagai ketua DPRD, M Syahrial mengeluarkan kebijakan untuk Kota Tanjung Balai yang dikeluarkan terkait penanganan limbah dan aspirasi lain dari masyarakat. Selain itu, Ismail yang memiliki riwayat karir sebagai Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Asahan, sudah matang tentang tata cara mengelola pemerintahan yang baik. Hal itu dibuktikan banyaknya prestasi yang didapatnya selama menjabat sebagai Kepala Disdik, khususnya memajukan dunia pendidikan masyarakat melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan lainnya.

Kemudian, M Syahrial merupakan putra dari pengusaha terkaya, Zulkifli Amsar. Zulkifli Amsar merupakan pengusaha batu bara di Tanjung Balai sekaligus tokoh sosial masyarakat yang terkenal, dengan beberapa aktivitasnya dalam kehidupan masyarakat seperti safari Ramadhan, dan pembangunan masjid pesantren Al Washliyah. Dengan realita seperti itu, mudah bagi masyarakat mengenal M Syahrial.
Faktor ketiga yaitu dukungan dari ormas. Dalam pilkada serentak lalu, M Syahrial – Ismail mendapat dukungan dari berbagai ormas, diantaranya PP (Pemuda Pancasila), Ikatan Pemuda Karya (IPK), Forum Komunikasi Putera-Puteri Indonesia (FKPPI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Keluarga Besar Putera Puteri Polri (KBP3), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) juga mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta bapak-bapak dan ibu-ibu Perwiridtan se-Kota Tanjung Balai. Menurut teori Pahittiartik (2011) menyatakan, paling tidak ada empat kecendrungan sikap ormas dalam dinamika pilkada. Ini juga erat kaitannya dalam menentukan bagaimana model transformasi informasi, persepsi dan opini dari ormas kepada masyarakat. Pertama, pimpinan ormas akan bersikap mendukung salah satu calon kepala daerah. Kedua, pimpinan ormas akan bersikap diam dan apatis dengan perkembangan politik di daerah. Sikap ini selanjutnya disebut apolitis. Ketiga, ormas dapat bersikap posisi ganda. Keempat, pimpinan ormas harus bersikap kritis dan kosntruktif. Dalam hal M Syahrial ini, jelas ormas memiliki kecenderungan tingkat pertama, pada tingkat ini, ormas akan mengerahkan segenap sumber daya. Mulai dari menggalang atensi masa, mempengaruhi persepi masyarakat, dan aneka negosisasi guna mensukseskan jagoannya.

Di kota Tanjung Balai sendiri, setiap ormas memiliki batas teritori yang menandakan batas wilayah dan basis massanya, dengan mendapat dukungan dari berbagai ormas, M Syahrial - Ismail, memiliki kelebihan tersendiri untuk mendulang massa dari cakupan massa tiap teritori yang dimiliki masing-masing ormas. Ormas – ormas tersebut akan berusaha mengakomodir massa yang berada di dalam teritorinya untuk memenangkan paslon dukungannya.
Faktor eksternal dari kemenangan M Syahrial yang dipandang dari segi lawan diantaranya adanya konflik internal partai, konflik yang terjadi dalam tubuh partai golkar mengakibatkan tidak adanya kader yang diusung oleh partai tersebut, ini terjadi pada paslon Rolel – Romay yang maju tanpa dukungan Golkar. Keadaan konflik internal partai mempengaruhi dalam pengupayaan perolehan kekuasaan para kadernya di berbagai daerah. Di Sumatra Utara saja, sudah lima jagoannya yang kalah.

Selanjutnya, kampanye hitam yang dihembuskan dalam pilkada serentak. Ini menimpa Rolel yang dulu pernah ditangkap karena kasus sabu-sabu. Kampanye hitam membawa dampak minimnya tingkat kepercayaan masyarakat karena pada dasarnya masyarakat yang peka akan kondisi pemimpin yang mereka butuhkan, bukan hanya visi misi yang dijadikan patokan namun juga pemimpin yang bisa menjadi role model.

Hal serupa menimpa Hamlet Sinambela, dimana dia ialah seorang kadisdik, pada saat pencalonannya dia tak kunjung mengundurkan diri dari jabatannya. Berhembus kabar jika di ruang kadisdik sering menjadi tempat pertemuan antara Hamlet dan tim sukses dari kubunya. Ini menjadi sebuah penyalahgunaan fasilitas negara yang seyogyanya untuk ranah pendidikan menjadi tempat politis. Hal ini menjadikan citra buruk di tengah masyarakat, mereka memandang bahwa perilakunya termasuk perilaku koruptif sehingga memperkecil perolehan suara masyarakat.

Kemenangan calon independen bukanlah sebuah kemustahilan, salah satunya yang terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara yaitu M Syahrial dan Ismail. Jumlah suara yang mereka peroleh pun terpaut jauh dari ketiga lawannya. Pasangan ini mampu mengalahkan paslon incumbent dan dua lawannya yang diusung oleh partai politik. Riwayat karir, modal sosial, dan modal ekonomi menjadi kekuatan yang diandalkan oleh pasangan independen ini, tak luput juga dukungan dari ormas setempat yang mempunyai pengaruh besar dalam penggalangan massa. Kelemahan-kelemahan para lawannya dapat menjadi sebuah keuntungan dari pasangan ini, mulai dari konflik internal partai pengusung sampai pada track record yang buruk yang dimiliki oleh paslon lawan.


*Tulisan dari Ari Setiawati - Sekertaris Departement PO BEM FIS 2016, Mahasiswa Jurusan Politik dan Kewarganegaraan
BACA JUGA
loading...
Labels: Opini

Thanks for reading Determinan Kemenangan Calon Wali Kota Independen dalam Pilkada Serentak 2015 di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Please share...!

0 Comment for "Determinan Kemenangan Calon Wali Kota Independen dalam Pilkada Serentak 2015 di Tanjung Balai, Sumatera Utara"

Back To Top