loading...
RADARKAMPUS.COM
- Seperti biasanya, di Semarang pada pagi hari nampak begitu ramainya
perlintasan di jalur-jalur inti kota. Jalur yang biasanya dilewati kaum pekerja
maupun pengusaha untuk menuju tempat mereka mencari uang. Nafkah yang nantinya
mereka gunakan untuk menghidupi keluarga mereka, atau bahkan diri mereka
sendiri sebagai bentuk usaha menyambung hidup. Di tanah yang katanya subur ini,
buruh mlarat melangkah gontai menuju gerbang pabrik di daerah Kota Lama yang
kumuh nan berantakan keadaan lingkungannya.
Rakyat
menjerit keras saat mereka tidak bisa makan, namun seketika mereka diam saat
mereka tahu tidak ada yang bisa menolong kelaparan mereka. Merintih di sudut
kota dan termenung menatap gemerlap negeri ini yang katanya kaya raya. Desa
menyuguhkan banyak peluang kerja, jika mental rakyat kita didik secara Marhaen.
Namun, realitas yang ada menunjukan kehidupan elit kota lebih menggairahkan
ketimbang kehidupan rakyat desa.
Kaum
buruh yang terbentuk sebagai akibat dari penghisapan produksi kapitalis,
menghasilakan kesadaran akan perlunya perlawanan terhadap pemilik-pemilik modal
asing (Belanda). Ketidakpuasan mulai muncul karena dengan upah yang sangat
rendah, kaum buruh juga ahrus menghadapi biaya-biaya kehidupan. Barang
kebutuhan hidup sederahana mulai digantikan dengan barang-barang yang lebih
maju (sebenarnya diciptakan dan diproduksi di pabrik-pabrik manufaktur yang
ada). Namun demi menghasilakan keuntungan yang besar (konsekuensi logis dari
watak seorang pemilik modal), maka barang-barang tersebut dijual dengan harga
yang cukup tinggi. Menghadapi hal ini, jelas kehidupan kaum buruh Indonesia
tidak akan mungkin meningkat. Sementara kaum pemilik modal (Belanda) semakin
menunjukkan kelebihannya dalam hal kekayaan, maka konflik pun tidak
terhindarkan.
Masyarakat
reformis bukanlah masyarakat yang kuno. Menjunjung tinggi ajaran lama tanpa
mengetahui mengapa ajaran itu tetap harus dilestarikan adalah pemahaman yang
melebihi wawasan tradisional. Dengan kita belajar pergerakan maka kita akan
paham betapa Indonesia butuh kaum Buruh untuk terus melancarkan pergerakan.
Maka mengutip HOS Tjokroaminoto (1921), Kaum Buruh adalah penggelar
kesejahteraan umum. Bekerja untuk rakyat, atas dasar pemenuhan kebutuhan pokok.
Mereka bekerja siang malam namun tidak kunjung kaya. Bahkan kehidupan mereka
jauh dari nuansa sejahtera. Jangan berhenti bergerak wahai para buruh
bumiputra. Di dada dan peluhmu kami gantungkan kebutuhan rumahtangga.
Gie
(1964) dalam Skripsinya menjelaskan Semaoen pada saat usianya masih 19 tahun
telah dinobatkan sebagai pemimpin Serikat Islam Semarang menggantikan Mohamad
Joesoef. Ia adalah salah satu dari penggerak massa yang handal. Mampu melakukan
penetrasi ideologis untuk mampu memogokan buruh di semarang secara serentak dan
berkelanjutan antara tahun 1917 sampai 1923. Di antara buruh yang berhasil
digerakan adalah Buruh Kereta Api, Buruh Tani, Buruh pabrik-pabrik di kawasan
Semarang.
Akan
sangat panjang jika bercerita tentang Gerakan Buruh di Indonesia. May Day sebagai
peringatan Hari Buruh Sedunia membuat tanggal 1 Mei selalu spesial untuk kaum
pekerja. Sambutan kaum pekerja dan buruh seluruh dunia terhadap May Day adalah
Aksi dan Orasi. Mereka menyampaikan gagasan dan usaha-usahanya untuk melakukan
perbaikan nasib. Jika pada masa Hindia-Belanda kebanyakan buruh tidak digaji
namun hanya diberi makan, sekarang di masa kemerdekaan buruh di gaji untuk
sekedar membeli makan.
Pada
masa Demokrasi Terpimpin setiap tanggal 1 Mei para tokoh Nasional banyak yang
berpidato di depan Buruh untuk sama-sama merefleksi diri dan sistem Negara.
Presiden Soekarno salah satu simbol perjuangan kelas untuk menentang segala
penghisapan oleh manusia kepada manusia. Tercatat dua kali Presiden Soekarno
berorasi pada Hari Buruh tahun 1946 di Yogyakarta dan 1964 di Istana Negara. Pernyataan
presiden Soekarno menyiratkan arti pentingnya perayaan hari buruh. Perjuangan
kaum buruh membawa hasil yang dinikmati oleh masyarakat luas.
"Perajaan hari internasional buruh 1 Mei bukanlah perajaan Komunis, tetapi perajaan oleh seluruh kaum buruh internasional. ... Ja, untuk merajakan kemenangan ini, bahwa kaum buruh dapat mentjapai djam kerdja satu hari 10 djam, jang tadinja sampai 18-19 djam sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh jang bersatu, bahkan sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh internasional, maka ditetapkan 1 Mei sebagai satu hari internasional." demikian pidato Presiden Sukarno saat peringatan hari buruh 1 Mei 1962.
Pada
tahun 1948, kendati dalam situasi agresi militer Belanda, perayaan Hari Buruh
Sedunia berlangsung besar-besaran. Saat itu, 200 ribu hingga 300 ribu orang
membanjiri alun-alun Jogjakarta, untuk memperingati Hari Buruh Sedunia. Menteri
Pertahanan, Amir Sjarifoeddin, memberikan pidato kepada massa buruh dan rakyat
di alun-alun itu. Selain Amir, Menteri Perburuhan dan Sosial Kusnan dan Ketua
SOBSI Harjono juga memberi pidato. Hatta dan Panglima besar Jend. Soedirman
juga hadir dalam perayaan hari buruh ketika itu. Dan, di tahun 1948,
dikeluarkan UU Kerja nomor 12/1948 yang mengesahkan 1 Mei sebagai tanggal resmi
hari Buruh. Dalam pasal 15 ayat 2 UU No. 12 tahun 1948 dikatakan: “Pada hari 1
Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”.
Kesejahteraan
Buruh adalah cita-cita yang harus diperjuangkan. Demonstrasi pada hari buruh
bukanlah satu tindakan menentang. Melainkan itu adalah satu cara rakyat untuk
menuntut. Menolak segala bentuk penghisapan, dan pemanfaatan tenaga kerja yang
berlebihan. Bangsa kita bukanlah bangsa Budak, namun masih banyak pemilik modal
kapital memperlakukan rakyat kita sebagai Budak di negerinya sendiri. Pada masa
rezim Soeharto berkuasa, peringatan May Day dilarang. Tidak ada seorang pun
yang merayakan hari buruh. Jika dirayakan maka dianggap melakukan tindakan
subversif, melawan hukum dan pemerintah. Saat itu pemerintah menganggap gerakan
buruh sepaham dengan komunisme. Pemerintah Soeharto hanya mengakui Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang didirikan pada 20 Februari 1973 sebagai
satu-satunya wadah perkumpulan buruh. Pemerintah lalu menetapkan hari lahirnya
SPSI sebagai Hari Pekerja Nasional.
Perlakuan satu rezim kepada Kaum Buruh mencerminkan cara pandang rezim tersebut kepada Gerakan Rakyat. Belanda bersifat subversive kepada gerakan buruh, bahkan hukuman penjara disiapkan bagi para pelanggar ketentuan pemerintah kolonial. Soekarno sebagai anak Revolusi bersifat pro kepada perjuangan Kaum Buruh. Bahkan pada saat ia memimpin, perayaan Hari Buruh selalu diperingati secara meriah. Rezim Soeharto memiliki cara yang hampir sama dengan cara Kolonial Belanda menentang gerakan buru, yaitu secara subversive. Yang jelas tuntutan mereka bukanlah tuntutan yang mengancam kedaulatan penguasa, melainkan mereka menuntut hak mereka untuk hidup layak dan sejahtera berlandaskan sila kelima dalam Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
**)
Tulisan dari Gandha Febri Kurniawan, seorang muda asal Kabupaten Pekalongan,
saat ini masih aktif sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri
Semarang dan di tahun 2016 ia diamanahi menjadi Ketua BEM FIS Unnes 2016,
setelah sebelumnya merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Sejarah.
BACA JUGA
loading...
0 Comment for "May Day Bukan Ancaman"