loading...
RADARKAMPUS.COM - Intenational Labour Day – dipiringati
sebagai hari buruh sedunia yang jatuh setiap tanggal 1 mei setiap tahunnya,
kemudian lazim diberi istilah may day.
Merupakan momentum yang diperingati untuk mengingatkan kepada masyarakat dunia
pentingnya peran seorang buruh dalam berbagai bidang pekerjaan. Kamus besar
Bahasa Indonesia mengartikan buruh adalah orang yang bekerja pada orang lain
yang kemudian mendapatkan upah. Dalam perkembanganya banyak klasifikasi jenis
buruh, sebut saja seperti buruh lepas, bruh migrant, buruh terampil dan
sebagainya yang pada intinya untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan ang dibalas
dengan bayaran tertentu.
Indonesia telah
mencanangkan may day yaitu tanggal 1
mei sebagai hari libur nasional untuk menghagai dan menghormati para buruh. Momentum
ini selalu digunakan oleh para serikat pekerja (buruh.red) untuk menyampaikan
aspirasinya kepada para pengambil kebijakan. Mereka berbondong-bondong untuk
menuntut kesejahteraan buruh, mengingat sampai hari ini nasib buruh dirasa
belum sejahtera ditengah upahnya yang relatif rendah dengan kebutuhan pokok
yang harganya selalu melambung. Wajar jika kemudian mereka kompak untuk menuntut
upah yang lebih tinggi, jaminan sosial, bahkan jaminan hari tua.
Dalam sistem politik
yang pernah dikemukakan Almond (Kantaprawira:1999) serikat buruh dapat
diketegorikan sebagai infrastruktur politik –yaitu kelompok yang berada diluar
pemerintahan seperti kelompok peneken, kelompok kepentingan, NGO dan
sebagainya-. Mengacu pada definisi ini serikat buruh dapat dikategorikan sebagai
kelompok penekan (pressure group) yang
mengartikulasikan kepentingannnya kepada infrastruktur politik. Maka berdialog
adalah cara paling tepat untuk membuka ruang diskusi sehingga aspirasi, keluhan
dapat ditampung yang kemudian para decision
maker dapat melaksanakan dapat menuangkan dalam regulasi yang akan datang.
Penting untuk menyadari keberadaan buruh bukan sebagai pengganggu tapi sebagai
bagian entitas sosial wara masyarakat dan sudah barang tentu warga negara yang
wajiib untuk disejahterakan.
Membahas buruh tentu
tidak lepas dari para pemilik modal dimana mereka menguasai alat produksi, yang
mereka akrab disebut majikan. Kalau kita mengacu pada tesis yang disampaikan
Karl Max ketika dalam kondisi yang demikian maka yang terjadi adalah kelas
pekerja dan kelas majikan. Kelas majikan sebagai pemilik modal memiliki kuasa
penuh untuk mengatur manajemen produksi, pembiyaan, pengupahan sehingga target
produksi dapat tercapai. Sedangkan kaum pekerja hanya menjalankan yang telah
digariskan sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga rutinitas pekerjaan
selalu berulang dengan tingkat kedisipilinan dan jam kerja yang telah
ditentukan. Maka elok rasanya ketika dua elemen ini dapat bekerja dengan baik
tanpa saling merendahkan sehinggga poduktivitas kerja dapat dicapai. Namun
ketika beban kerja terlalu tinggi dan upah murah sehingga tidak sebanding maka
bukan tidak mungkin terjadi gejolak untuk
menuntut dan bukan kemustahilan tesis Marx bisa tebukti.
Kaum pekerja dan
pengusaha, keduanya tidak bisa saling dilepaskan saling membutuhkan. Kesadaran
ini semestinya menjadi landasan keduanya agar saling menguntungkan yang
didasarkan pada prinsip hak, kewajiban dan tanggung jawab. Untuk para “bos”
jangan perah pekerja hanya keterampilan dan tenaganya saja, tapi lihatlah
bagaimana kesehatan, keselamatan kerja, kondisi psikologis yang juga perlu
diperhatikan. Untuk para pekerja lakukan
kewajiban dengan seksama dan penuh dengan tanggung jawab. Ketika kedua elemen
tadi saling menyadari maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mengikuti
negara-negara maju dimana buruhnya sudah sejahtera dan mendapat perhatian
khusus tidak hanya sebagai entitas sosial tetapi merupakan entitas politik.bukan
tidak ungkin dalam jangka panjang mereka akan membentuk partai buruh seperti
yang terjadi di negara-negara maju.
Peran negara dalam
mengakomodasi kepentingan para buruh juga harus terlihat lebih nyata tidak
hanya di dalam negeri tetapi juga para buruh migrant yang bekerja di luar negeri
khususnya para TKI yang masih sangat membutuhkan perlindungan negara. Misalnya
sampai akhir tahun 2013 data yang dihimpun oleh crisis center BNP2TKI sekitar
13 ribu dengan 300 diantaranya terancam hukuman mati. Fakta ini menunjukan
betapa pasifnya perhatian negara. Kasus yang muncul dipermukaan itu bak “gunung
es”. Berbagai macam kasus yang lambat ditangani negara adalah bukti lemahnya
kepedulian negara terhadap para buruh migrant kita padahal notabene mereka
adalah penyumbang devisa negara. Belajar dari pengalaman pengalaman yang telah
menimpa semstinya negara harus hadir dalam setiap proses untuk melindungi warga
negaranya di luar negeri.
Pertanyaan yang
paling mendasar dibenak kita adalah kenapa setiap tahun dalam memperingati may day selalu ada unjuk rasa (?). lalu
sampai kapan ini akan berakhir. Saya menduga dalam gambaran yang ideal mungkin
itu semua akan terhenti ketika semua tuntutan buruh dapat dipenuhi. Tapi
lagi-lagi jawaban itu pasti akan melahirkan pertanyaan baru yakni lantas mungkinkah
pemerintah dan para pengusaha (majikan.red) mau menuruti mereka sementara
realitasnya pengusaha beprinsip pendapatan besar pengeluaran sedikit, ditambah
lagi dengan political will pemerintah yang masih dipertanyakan. Pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 sangat jelas menyebutkan bahwa “setiap warganegara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kalau
mengacu pada bunyi ayat ini jelas segala turunan peraturan tentang
ketenagakerjaan harus memenuhi prinsip kemanusiaan. Syahdan apakah selama ini
kebijakan outsoruching, pengupahan, jaminan kesehatan sudah memenuhi standar
layak bagi kemanusiaan (?).
**)
Tulisan dari Ulul Mukmin, seorang
muda Lulusan Universitas Negeri Semarang tahun 2015. Saat ini ia sedang
menggagas Haroen Institute di Kabupaten Tegal.
BACA JUGA
loading...
0 Comment for "Jangan “Pinggirkan” Buruh"