loading...
RADARKAMPUS.COM,
Semarang - Membangun Komunitas Orangtua, Pagi hari ialah waktu
dimana imajinasi mencari jawabannya dari sekian pertanyaan di sepanjang malam.
Setelah semalaman melakukan refleksi yang cukup, itu biasa dilakukan oleh
orang-orang kebanyakan golongan darah A. Mungkin aku juga termasuk didalamnya.
Pagi hingga larut malam coba lakukan perjalanan, di sudut-sudut jalan pasti
sedikit banyak menemukan kumpulan anak muda rentang usia 14 s.d 19 tahun
membentuk suatu komunitas atau geng,
tidak menutup kemungkinan lebih beragam usianya. Di latarbelakangi atas
kesamaan lingkungan tempat tinggal, namun biasanya hal ini lebih karena
mempunyai kesamaan pada satu kesukaan. Berkumpulnya anak-anak di usia ini sebenarnya
adalah mereka tidak berhasil dalam menemukan passion mereka, ada sisi
keterbatasan yang dirasa mengganggu luapan ekspresi (kesukaan) yang ingin
sekali di pertunjukkan. Sekolah yang penuh aturan kadang membuat mereka dengan
usia yang ada itu merasa jenuh, belum lagi tenaga pengajar yang tidak bisa
menjawab ekspetasi mereka dan disebutnya dengan istilah kaku. Suasana mengajar yang monoton dan terkesan oleh mereka soal
beberapa tenaga pengajar profesional dalam pengajaran hanya seperti
menggugurkan kewajiban, melibatkan mereka dalam suasana belajar yang
sesungguhnya menjadi pertanyaan tersendiri.
Sekolah dengan berbagai
sistem yang diperuntukkan bagi mereka yang berusia rentang usia tersebut tadi
ternyata belum bisa membentuk anak-anak yang berkarakter ketika mereka di luar
sekolah. Ini artinya belum membekasnya apa yang telah diajarkan di kelas, hal
yang diajarkan tidak masuk dalam jiwa-jiwa anak-anak tadi. Mungkin ramai
tanggapan, tapi hampa akan sebuah makna mengapa mereka harus belajar menyoal
yang diajarkan. Memahamkan pada tujuan itu sangat wajib untuk mendorong kesadaran
awal, membangun kesadaran dimulai sejak dini dan memupuknya dengan konsistensi
pesan kebaikan yang disisipkan dalam setiap pengajaran. Indahnya ketika pesan
kebaikan dalam kelas bisa hidup dalam setiap langkah anak-anak sekolah.
Kenakalan remaja memang
tidak bisa dilimpahkan seluruhnya pada pihak sekolah. Adanya penilaian bahwa
suatu sekolah telah gagal dalam mendidik adalah kesimpulan yang terlalu cepat
hanya karena kasus yang sedang mencuat beberapa hari ini. Terbentuknya sekumpulan
anak-anak yang sulit diatur dan diberi tahu tentu di picu oleh berbagai faktor.
(ilmu perilaku). Peran orangtua dan peran
sekolah harus benar-benar berkolaborasi dalam setiap perkembangannya.
Sinergitas peran antara orangtua murid dengan pihak sekolah seringkali berseberangan.
Salah satunya adalah tentang konsep ideal yang dimiliki masing-masing pihak.
Pertemuan antara orangtua murid dan pihak sekolah terkesan hanya formalitas yang penting ada, perhatikan di beberapa
sekolah pertemuan ini biasa dilakukan ketika si anak akan menjelang bagi raport
atau ada suatu acara yang mengharuskan sumbangan dana dan tenaga sebagai
panitia misalnya. Pada akhirnya soal menggugurkan kewajiban ini menjadi sinkron
antara si orangtua murid dengan pihak sekolah yang diwakili tenaga pengajar
bahwa mereka menjalani ini sekedar cukup pada kata selesai, bukan bagaiamana di
setiap prosesnya mempunyai makna yang lebih penting dan mendalam tentang rules membangun sebuah generasi secara
serius. Tidak heran ketika ada pemberitaan media seorang anak sekolah melakukan
tindakan penyimpangan, yang terjadi ialah saling lempar tanggungjawab antara
pihak sekolah dengan orangtua siswa. Saling menyalahkan soal peran siapa yang
belum maksimal dalam mendidik anak sehingga terjadi hal negatif yang demikian
tadi. Komunikasi yang tidak sehat ini berbahaya jika diteruskan. Ini akan hanya
menjadi ajang pembenaran tanpa saling mengkoreksi satu sama lain dan duduk
bersama untuk memecahkan masalah. Permasalahannya adalah terkadang beberapa
orangtua murid yang terlalu sibuk dengan aktivitas di luarnya, belum memandang
sebuah pertemuan orangtua siswa ini sebagai hal yang urgen.
Memaksimalkan
Komunikasi
Setelah banyaknya
pemberitaan yang menghebohkan belakangan ini, seharusnya mampu mendorong pihak
orangtua murid dan pihak sekolah memaksimalkan komunikasinya dalam meninjau
perkembangan anak-anak dan berbagi peran yang sama-sama dipahami tentang how to be something great hingga sejauh
mana yang perlu dilakukan ketika muncul kembali masalah baru di kemudian hari. Pemberitaan belakangan ini menyangkut kenakalan remaja dan
akibat pergaulan yang mulai semakin tidak sehat tidak bisa di cegah dengan
cara-cara lama, seperti dinasehati atau ceramah maupun disidang dengan gaya tegasnya.
Anak-anak hari ini memang cukup berbeda, dimana sensitivitasnya tinggi. Tingkat
kebosanan pun tinggi sehingga itulah mengapa mereka mencari cara untuk
meluapkan ekspresinya atas kebebasan yang diinginkan, dan banyak menyebut anak
itu berlaku nakal. Tidak hanya di sekolah terkadang suasana rumah pun dianggap
sebagai penjara bagi beberapa kalangan anak karena melihat sisi kebosanan yang
tinggi dan penuh aturan gak boleh begini
dan begitu tanpa disertai alasan dan
bahasa yang bisa diterima sesuai usianya. Perilaku adaptif orangtua dalam
melihat perilaku anak-anak pada umumnya masih kurang mampu dalam membaca
ketepatan atau kesesuaian, mereka lebih banyak mempertahankan ego dan sisi
ideal dari alam pikirannya ataupun pengalamannya. Kesadaran untuk mempelajari
dunia apa yang sedang di pahami oleh anak-anak mereka itu belum dilakukan,
modal percaya memang masih menjadi pilihan utama. Ini bukan soal tidak percaya
kepada anak di jaman yang sedemikian bebasnya, melainkan fungsi menciptakan
generasi perlu di amati dan diperhatikan agar mengerti dimana sisi yang kurang
dan dimana sisi yang berlebihan sehingga bisa di cegah apa saja yang bisa
memicu pada kecenderungan yang negatif.
Kesadaran orangtua memang
masih rendah, ini disebabkan zaman berubah begitu cepat dan tidak di imbangi
oleh menyesuaikan diri pada perubahan yang terjadi. Maka seringkali praktik
bohong dan membohongi kita dengar dari sebuah berita yang muncul bahwa si
orangtua tidak percaya bahwa si anak telah melakukan penyimpangan atau tidakan
yang negatif. Orangtua tidak mampu mengimbangi kemajuan zaman yang terus
mengeluarkan cara berkehidupan yang lebih modern dan penuh jalan pintas.
Parahnya para orangtua tetap mempertahankan idealisnya tanpa melihat bagaimana
tantangan zaman, dan mungkin ini yang sering disebut oleh mereka kolot. Membawa gambaran zaman di masa
lalu secara bulat yang kemudian dipaksakan untuk si anak tanpa dikemas terlebih
dahulu tentu akan muncul penolakan, jika diterima pun itu hanya keluar kuping kanan-keluar kuping kiri
oleh mereka. Kondisi orangtua dengan istilah bahasa gaul mereka seperti gaptek, kuper,katro, cupu, kolot dan sebagainya
perlu diubah. Orangtua wajib memulai perubahan yang nyata terhadap zaman dengan
memastikan kolaborasi dengan pihak sekolah berjalan dengan sungguh-sungguh
dalam cita-cita yang sama menciptakan generasi yang terbaik.
Di sekolah anak-anak masih
merasa kebingungan dalam menemukan passionnya. Atas ketidaktahuan atau
ketidakpedulian yang muncul dalam masing-masing individunya ini perlu di
hidupkan oleh peran guru, yaitu mengarahkan mereka secara mandiri menemukan
siapa dirinya dan harus bagaiamana. Jadi, tidak ada lagi nanti anak-anak yang
membolos sekolah karena menghabiskan waktu untuk bermain game online di warnet
dekat sekolah atau membolos sekolah untuk berkumpul dengan teman-teman motor modifikasinya dan juga membolos
untuk mencoba kebiasaan-kebiasaan buruk yang didasari atas rasa penasaran yang
di sekolah atau di rumah ia tidak dapatkan soal dampak buruk dan negatifnya. Diberikan
ruang seluas-luasnya untuk mereka bisa mengekspresikan bahwa itulah diri mereka
yang sesungguhnya dan jangan lupa ditutup dengan mengapresiasinya. Ketika di
sekolah mereka bisa menemukan kepuasan dan merasa inilah dunianya dan saatnya.
Berbagai sarana yang disediakan oleh pihak orangtua dan pihak sekolah mampu
menjawab kebosanan dan keingintahuan yang diluar dari rutinitas belajarnya
dalam kelas. Orangtua yang berkolaborasi dengan pihak sekolah atas berbagi
peran yang sinkron ini perlu dijaga
dalam wujud sebuah komunitas. Komunitas yang merupakan wadah bersama-sama
memecahkan permasalahan anak-anak di usianya dengan mengedepankan upaya-upaya
yang menyesuaikan dengan zaman.
Komunitas orangtua hari ini
memang bisa dikatakan sedikit atau bisa juga dikatakan mati. Hal ini terlihat
di daerah perumahan warga sudah jarang ditemui kalangan orangtua berkumpul
untuk membicarakan sesuatu kalau pun ada itu biasa membicarakan hal yang
bersifat gosip khas orangtua di malam
hari. Pos kamling atau paguyuban yang dulu sempat hidup kini meredup dan
berangsur hilang. Wadah tempat dimana saling berbagi cerita dan tak jarang dari
perkumpulan itu membuahkan solusi-solusi atau ide membuat sebuah hajat
bersama-sama. Adanya gap antar
orangtua dan anak-anak yang selalu diartikan dunia mereka berbeda. Jika dipikir
secara pragmatis memang benar, namun ada kebersamaan yang harus dimaknai
bersama bahwa kehidupan sosial saling melengkapi, meng-ada-kan yang satu dan
lainnya sehingga semua memiliki peran dan tanggungjawab.
Bisa ditanyakan, seberapa
sering komunitas orangtua saling berbagi cerita pengalamannya semasa muda
kepada si anak-anak tadi, membicarakan soal kegagalan dan keberhasilan dan juga
tidak kalah penting tentang keuntungan dan kerugian sehingga yang muda dapat
belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kemudian juga seberapa
sering komunitas anak-anak saling berbagi keseruannya di masa-masa remajanya
kepada komunitas orangtua sehingga para orangtua dapat memahami dimensi baru
yang anak-anak temukan dan akhirnya dua generasi ini bisa berkolaborasi soal
apa saja. Dalam penguatannya mereka sudah saling memahami antar kedua komunitas
ini, ini akan berdampak pada saling menunggu antar dua komunitas karena
merindukan pertemuan dan sharing tentang
hal-hal apa saja dari dua generasi yang mempunyai sudut pandang yang berbeda,
sungguh menjadi pemandangan yang menarik. Tetapi, upaya ini harus diimbangi
dengan batasan-batasan yang tetap menjaga komunikasi yang santun dan hormat
sebagaimana harusnya anak kepada orangtua, bukan justru sebaliknya
menjadikannya pada tataran kedudukan yang sama.
Membangun komunitas orangtua
memang bukan hal yang baru, ini hanya mengembalikan semangat berkumpul yang
sempat hilang entah karena zaman atau memang dari masing-masing individu
orangtua yang mulai semakin sibuk dengan aktivitas-aktivitas barunya di era
digital hari ini. Kehadiran komunitas orangtua yang eksis di lingkungan sekolah
dan lingkungan tempat tinggal akan mampu menangkal segala bentuk perilaku
menyimpang yang memungkinkan dilakukan oleh anak-anak karena fungsi pengawasan
berjalan oleh komunitas orangtua. Betapa pentingnya eksistensi daripada
komunitas orangtua di lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal tidak
hanya menghasilkan kesadaran dan pengawasan tetapi semangat gotong-royong yang
merupakan ciri khas masyarakat Indonesia menjadi hidup kembali.
Masyarakat saling
bahu-membahu mewujudkan lingkungan yang terbaik dari berbagai hal,baik di
lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat tinggal. Indonesia sedang gencar
mewujudkan generasi emas untuk tahun 2045 dan membangun komunitas orangtua
adalah salah satu pilar dari sekian pilar yang ada untuk cita-cita mulia itu.
Menjadikannya yang tua menjadi muda
dan menjadikannya yang muda menjadi dewasa.
Muhammad
Kasyfan - Pena Arial, sang
Jakarta Muda
BACA JUGA
loading...
Labels:
Opini
Thanks for reading Membangun Komunitas Orangtua. Please share...!
0 Comment for "Membangun Komunitas Orangtua"