Memaknai “Marxisme” & Api Semangat Marhaenisme oleh Ganda Febri Kurniawan

loading...

RADARKAMPUS.COM | Sejauh saya rasakan, gelora reformasi telah membawa kembali demokrasi yang lama hilang. Melahirkan situasi sosial-politik baru di tengah-tengah masyarakat modern Indonesia. Awal tahun millennium menjadi momentum yang mengejutkan bagi masyarakat Indonesia maupun dunia. Di mana kabar kurang sedap berhembus dari sebuah Negara yang dahulu dikenal sebagai Hindia Timur ini. Para pakar ekonomi pontang-pantingan mencari jalan keluar, sebagai bentuk respon State pada keadaan global economic yang sangat mencemaskan.

Reformasi memang telah meninggalkan drama romantika dalam panggung sejarah nasional. Menyisakan satu ingatan tentang kehebatan persatuan aksi massa dalam menumbangkan rezim Orde Baru yang telah meluluh lantahkan jiwa bangsa. Seperti biasa pro dan kontra terjadi dikalangangan masyarakat. Namun hal itu semakin jelas memperlihatkan pada kita, bahwa Orde Baru telah benar-benar menina bobokan sebagian besar masyarakat Indonesia. Membiarkan mereka berimajinasi (mimpi) di siang bolong tentang keadaan yang nyaman, tenang, dan sejahtera. Padahal sejauh kita melihat dan mendengar petuah orang tua kita yang hidup pada masa Orde Baru, secara rasional fikiran kita meninggi dengan mimpi dan harapan yang selalu dan terus diracunkan kepada fikiran rakyat. Tanpa aksi nyata, kebebasan berserikat, demokrasi yang utuh dan masih banyak lagi.

Tulisan di atas hanya refleksi, kini menuju pembahasan yang sesungguhnya. Tentang Marxisme, yang belakangan ini telah membumi kembali di tengah-tengah situasi berfikir yang masih dibatasi. Sejarah perjuangan bangsa menunjukan, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa Kaum Kiri. Sekaligus saya membikin statement yang kontradiktif dengan Novelis pujaan anak-anak muda masa kini, yaitu Tere Liye. Bahkan, gagasan-gagasan besar muncul dari fikiran-fikiran merdeka orang-orang kiri. Sebagai penjelas, gagasan tentang “Indonesia Merdeka” pertama kali dikemukakan oleh Tan Malaka yang namanya sekarang telah redup terkikis oleh perubahan zaman.

Menurut Franz Magnis-Suseno (2003: 5), Marxisme tidak sama dengan Komunisme. Komunisme, sejak Revolusi Oktober 1917 dibawah kepemimpinan V.I Lenin, adalah gerakan dan kekuatan politis-ideologis internasional partai-partai Komunis yang menggunakan “Marxisme-Leninisme” sebagai doktrin dan ideologi formal mereka. Jadi, Marxisme hanyalah salah satu komponen dalam sistem ideologi Komunisme, meski kaum Komunis memang selalu mengklaim merekalah pewaris resmi konsepsi Marx tersebut. Namun, istilah Komunisme sendiri, sebelum Lenin memonopoli istilah tersebut, telah digunakan untuk mengacu pada cita-cita utopis masyarakat, dimana semua kepemilikan pribadi (private ownership) dihapus dan dianggap sebagai milik umum (public property) guna mengeliminasi gap antara kaum borjuis dan proletar serta membantu dalam menciptakan kemakmuran bersama.

Marx sendiri melahirkan teori sosial-politik Marxisme atas dasar kekecewaannya terhadap sistem Kapitalis. Masyarakat yang seharusnya hidup sejajar “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” malahan timpang. Para pemilik modal melakukan eksploitasi dan eksplorasi kepada kaum Proletar. Mereka Kaum Proletar bekerja siang malam, namun tidak kunjung mendapat hidup yang layak. Sedangkan para pemilik modal hanya duduk santai, dan menunggu mesin pekerja mereka (Kaum Proletar) menghasilkan uang.

Mengutip pula tulisan Bung Karno yang berjudul “Bolehkah Serikat Sekerdja Berpolitik” yang Ia tulis pada tahun 1933 dalam Harian Fikiran Ra’jat, Ia menegaskan bahwa antara modal dan kerja adalah suatu pertentangan hakekat, suatu antitesa yang tidak bisa dihapus, walaupun oleh kepandaiannya para profesor-profesor botak dari segala sekolahan-sekolahan tinggi. Antara modal dan kerja  itu ada tabrakan kebutuhan, oleh karena modal itu, sebagaimana secara terang-benderang diterangkan oleh teori dialektika, meerwardee, Verelendung d.l.s, adalah hidup daripada kerja, menguruskan kerja. Oleh karena itu, maka benar sekalilah putusan kongres kaum buruh Surabaya, bahwa pergerakan sekerja harus melawan tiap stelsel kapitalisme, menghilangkan tiap stelsel kapitalisme, mengejar stelsel produksi yang sama rata sama rasa.

Aroma Marxisme begitu sedap tercium dari pandangan Bung Karno tentang Sosial Welfare. Bahwa benar adanya, permasalahan antara Buruh dan Majikan tidak akan pernah terselesaikan jika antara keduanya tidak dipertemukan satu gagasan yang saling menguntungkan. Satu gagasan yang menjadikan keduanya tidak saling membodohi, tidak saling memanfaatkan semata, dan keduanya mampu berdiri sama tinggi, sama-sama tampil terhormat dipanggung ekonomi. Maka niscaya hubungan yang semacam itu akan menjadikan keduanya satu good relationship. Satu hubungan daripada air dan tanaman atau satu hubungan manusia dan alam.

Gus Dur muda saat masih di Yogyakarta sudah membaca dan menguasai dasar-dasar Marxology melalui buku Das Kapital. Sehingga saat menjadi pemimpin Bangsa Indonesia di tengah-tengah pergeseran zaman yang begitu pelik, Gus Dur mampu menempatkan posisi pemikiran dalam satu bingkai yang lebih segar. Di mana kesadaran seorang anak bangsa tentang pentingnya satu keseimbangan dan kestabilan untuk mencapai Pembangunan Nasional yang hak dibutuhkan kebebasan berfikir dan berserikat. Supaya alam pluralisme Indonesia bisa tetap asri dan sejuk dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia adalah negeri multikulturalis dalam bingkai pesona alam kepulauan. Dalam keadaan geografi yang demikian sangat memungkinkan untuk rakyat dapat hidup sejahtera. Mungkin argumentasi saya ini terlampau optimis karena pakem penulisan saya langsung saya gantung di titik yang paling tinggi. Namun inilah yang saya rasakan, saat kita mendengar lagu-lagu ciptaan sastrawan seperti Gombloh dan Gesang yang menggambarkan negeri ini sebagai negeri yang hampir sempurna dengan kekayaan alam yang sangat luar biasa.

Marxisme adalah paham perjuangan yang lahir melalui risalah panjang dari pemikirnya. Satu antitesa dari keberadaan kapitalisme yang begitu menekan kaum miskin di Desa maupun Kota. Kehidupan yang teramat pilu jika diceritakan, namun nikmat jika dijalankan. Karena itu merupakan satu-satunya jalan bagi kaum pekerja memperoleh makan. Sempitnya lapangan pekerjaan dan semakin meratapnya para pemuda tanpa arah, menjadikan kapitalisme tumbuh subur di bumi Indonesia.

Dalam keadaan yang sama seperti Eropa pada masa Marx Muda, Indonesia di bawah penjajahan Belanda mampu melahirkan seorang pemimpin Pergerakan dari kelas Pribumi yaitu Soekarno. Pada tahun 1920-an di bawah tekanan dan penindasan kepada bangsanya Soekarno muda mampu merumuskan satu gagasan tentang kesetaraan kelas. Kemudian dimanifestasikan ke dalam teori sosial-politik sebagai Marhaenisme. Satu gagasan yang Ia ciptakan di Bandung, pada saat sedang menempuh studi di Technische Hoogeschool Te Bandoeng.

Marhaenisme adalah satu pemikiran yang murni dicetuskan oleh Soekarno muda dan berangkat dari kebutuhan hidup manusia yang paling substansial dan bersifat universal, yaitu Tuntutan Budi Nurani Manusia (The Social Consience of Man), yang menghendaki terwujudnya kesejahteraan hidup manusia yang hanya dapat terpenuhi apabila telah tercipta harmonisasi antara kemerdekaan individu dan keadilan sosial di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga tidak adalagi penjajahan oleh manusia kepada manusia atau oleh bangsa kepada bangsa.

Budi Mulia dalam tulisannya yang berjudul “Pemahaman Saya tentang Ajaran Bung Karno” Menerangkan bahwa Marhaenisme sebagai teori sosial-politik yang mengarah ke perjuangan dirumuskan oleh Soekarno untuk membebaskan rakyat Indonesia saat itu dari penderitaan dan kesengsaraan akibat praktik feodalisme oleh bangsa sendiri dan kapitalisme, imperialisme dan Selain itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai kekuatan politik di luar Soekarno yang menggunakan Marhaenisme sebagai asasnya, telah berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1975. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penting mengapa istilah Marhaenisme semakin jarang didengar kata maupun maknanya. Meskipun, sampai saat ini masih ada beberapa Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) yang masih menggunakan Marhaenisme sebagai asasnya seperti Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Gerakan Rakyat Marhaen (GRM), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), namun peranan beberapa Ormas tersebut dalam panggung politik masih lemah, maka apa yang menjadi asas dan tujuan mereka pun kurang bergema dalam percaturan politik di Indonesia.

Kolonialisme bangsa asing, terutama Belanda. Menurut Soekarno di dalam tulisannya yang berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, Salah satu langkah konkret yang dijalankan Soekarno guna merealisasikan konsep Marhaenisme tersebut adalah dengan membentuk Partai Politik pada tahun 1927 yang kemudian dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI). Untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tersebut, Soekarno menegaskan bahwa PNI harus menyusun massa aksi dan bersikap non kooperasi terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Soekarno meyakini hanya dengan cara tersebut kemerdekaan dapat diraih.

Ketika imperialisme Belanda berganti kepada imperialisme Jepang, sikap dan cara tersebut diubah oleh Soekarno. Soekarno justru bekerja sama dengan pemerintah Kolonial Jepang. Hal tersebut banyak menuai kontroversi. Meskipun dihujat oleh beberapa kalangan radikal, Soekarno meyakini bahwa pilihan untuk bekerja sama dengan Jepang adalah cara paling baik untuk dijelaskan bahwa untuk membebaskan diri dari sistem yang menciptakan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia tersebut adalah dengan jalan revolusi kemerdekaan. Dalam Buku “Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I” yang ditulis langsung oleh Soekarno menjelaskan bahwa setelah kemerdekaan diraih maka jalannya revolusi diarahkan pada pembangunan suatu masyarakat yang adil dan makmur tanpa sistem yang menindas tersebut. Untuk mencapai kemerdekaan dan masyarakat yang adil dan makmur maka harus disusun suatu metode dan cara perjuangan yang revolusioner pula. Maka dari itulah Soekarno merumuskan Marhaenisme sebagai teori perjuangan untuk mencapai cita-cita tersebut. Memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno mencoba merasionalisasikan bahwa kekuatan Jepang diperlukan guna mempersiapkan revolusi.

Selain sebagai pencetus Marhaenisme Soekarno adalah Marxis, hal ini diakuinya sendiri, seperti yang ditulisnya di koran Pemandangan (1941), bahwa “teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.” Jadi dapat saya tarik sebuah garis lurus, bahwa Bung Karno adalah manusia pergerakan bersenjatakan marxisme. Dan dengan itu pula dia memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tetapi di tahun 1966, setelah kontra-revolusi yang dikomando oleh Jendral AH Nasution melalui Jendral Soeharto mulai berkuasa, keluar Tap MPRS nomor XXV tentang pelarangan Marxisme. Juga Tap MPRS XXVI/ MPRS/ 1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang berusaha membersihkan ajaran-ajaran Bung Karno dari marxisme. Kemudian, pada bulan Desember 1967, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan  Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja, yang disokong rezim Orde Baru, membuat Pernyataan Kebulatan Tekad untuk membersihkan marhaenisme dari marxisme. Dan sejak itu marhaenisme di tangan PNI mulai kehilangan api-nya.

Satu keniscayaan ketika ada segolongan orang yang coba memisahkan Marxisme dari Marhaenisme. Karena Marxology adalah komponen inti daripada gagasan Marhaenisme. Sehingga jika Marhaenisme dianalogikan sebagai pijar di tengah kegelapan malam, Marxisme adalah bahan bakar yang mengeluarkan api cahaya. Sehingga Marhaenisme memang melemah atau sengaja dilemahkan pada saat Orde Baru berkuasa. Karena desukarnoisasi memang mengharuskan mencerabut segala bentuk pemikiran Soekarno dari akar-akarnya. Supaya kekuasaan Orde Baru dapat langgeng dan tidak tergoyahkan hingga 32 tahun.


Marhaenisme, seperti dijelaskan Bung Karno di Konferensi Partindo, 1933, adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen. Karena itu, marhaenisme hendak menghilangkan kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua sistim itu telah menghisap dan menindas rakyat jelata. Karena kita paham kapitalisme dan imperialism bukan sekedar sistim biasa, ia adalah satu gagasan pemenjara, satu gagasan yang tanpa sadar dapat menghanyutkan kita ke dalam alam kebengisannya. Maka diperlukan satu ideologi untuk dapat melawan ideologi. Supaya alam demokrasi ini bisa tetap asri dan sejuk udaranya untuk kita hirup hidup-hidup, walaupun polusi kapitalis dan erupsi imperialis masih bisa kita rasakan hingga saat ini.

*Tulisan dari Ganda Febri Kurniawan, saat ini merupakan mahasiswa Jurusan Sejarah FIS Unnes, Ketua Hima Sejarah 2015, serta kini tengah diamanahi menjadi Ketua BEM FIS Unnes 2016
BACA JUGA
loading...
Labels: Opini

Thanks for reading Memaknai “Marxisme” & Api Semangat Marhaenisme oleh Ganda Febri Kurniawan. Please share...!

0 Comment for "Memaknai “Marxisme” & Api Semangat Marhaenisme oleh Ganda Febri Kurniawan"

Back To Top