loading...
RADARKAMPUS.COM, Semarang - Bersaing atau punah. Sekarang era digital, serba
cepat dan tanpa batas. Abad percepatan yang mengantarkan generasi gaul tak lagi
menyukai koneksi internet lambat. Abad dimana kebanyakan orang lebih suka
mengumpat, memaki, dan menghina. Abad yang serba mudah, yakni lebih mudah
termakan gosip murahan, isu SARA, dan baperan.
Ya, itulah masyarakat virtual.
Buktinya sederhana, lihat saja sosial media. Riset
menunjukan tulisan yang paling sering dibagikan adalah tulisan-tulisan yang
mengandung unsur kontroversi, kemarahan, dan kebencian. Produktivitasnya bahkan
lebih banyak ketimbang mereka yang membagikan perkara kebaikan. Miris!.
Itu alasannya mengapa saat ini banyak sekali media yang
lebih memilih konten dengan unsur kontroversi, hujatan, atau berbagi belas
kasihan tanpa memperhitungkan HAM. Bagi mereka fakta dan data bisa
diputar-putar, diplintir penuh kenikmatan. Satu kata berjuta makna. Rumus yang
diterapkan sederhana, semakin banyak dibagikan semakin banyak pengunjung.
Semakin banyak pengunjung semakin banyak untung, dan seterusnya.
Ingat bagi pegiat internet marketing abal-abal, “share=traffic=uang”, isi konten urusan
belakangan. Sangat menggiurkan memang. Utamanya packaging, judulnya atraktif, dan penuh rasa iba, sehingga
mengundang pembaca untuk membagikannya. Melihat fenomena ini tak mengherankan
jika produktivitas hoak tumbuh subur, sedangkan mental verivikasi pembaca masih
terus diuji.
Hmm, sialnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Informasi-informasi “murahan” dengan mutu yang rendah dan jauh dari kebenaran
itu menyebar dengan sangat cepat. Terlebih, kecepatan itu tidak diimbangi
dengan kecepatan berpikir, analisa, dan cross
check dari pembacanya. Alhasil, konten tersebut tumbuh subur bak jamur di
musim hujan.
Membaca Itu
Kegiatan Intelektual
Ingat, membaca merupakan kegiatan intelektual.
Itupun, dengan bacaan dan informasi yang berkualitas. Namun, lagi-lagi
disayangkan, saat ini kebanyakan tak lagi menggunakan logika berpikirnya dengan
mantap. Bacaan dan informasi rendahan dengan bangga dan tak sadar disebarkan
karena menyinggung sentimen identitasnya.
Kekhawatiran ini nampaknya pernah juga dirasakan oleh
Albert Einsten, katanya seseorang yang membaca terlalu banyak dan menggunakan
otaknya terlalu sedikit akan menjadi kebiasaan malas untuk berpikir. Itulah
mengapa budaya kritis dan cross check
kebenaran dalam membaca menjadi sangat penting. Sehingga, nantinya pembaca
dapat menangkap makna dalam bacaan secara utuh dan berkesinambungan.
Jadi, mulailah dengan membaca, budayakan kritis
analitis, dan jangan malas mengecek kebenarannya. Amir (1996) tegas mengatakan
bahwa dengan banyak membaca kita dapat meningkatkan kadar intelektualitas,
membina daya nalar kita. Jelas bahwa, membaca akan menggerakan diri menjadi
pribadi yang kaya akan wawasan, namun ingatlah jangan sampai kita hanya menjadi
intelektual semu dan menjadi kambing untuk di adu. Sementara, para pengelola
media yang kurang bertanggung jawab dapat untung miliaran.
Singkirkan Media
Abal-abal
Terkesan sadis memang, menyingkirkan mereka yang
tengah mencari ladang penghasilan. Namun, perlu digaris bawahi pula bahwa
mereka juga telah merampas hak banyak orang untuk kepentingan pribadinya. Jalur
pencarian mereka dalam menjual konten tidak sepenuhnya bisa dibenarkan.
Langkah dan modus media abal-abal sebenarnya amat
mudah untuk ditandai, sadarkah kita bahwa biasanya konten hoax berawal dari
postingan di media sosial atau blog-blog yang tidak jelas pemiliknya? Penyebar
hoak menyadari bahwa konten mereka, tidak mungkin mampu bersaing dengan
brand-brand kenamaan macam detik, tribunnews, kompas, hingga tempo yang
lazimnya dikunjungi via Uniform Resource
Locator (URL). Sehingga mereka lebih memilih melepasnya di sosial media.
Untuk memverivikasinya mudah, tinggal ketik dan cari
saja dalam media-media kenamaan di Indonesia. Jika ditelusuri informasi hoak
presentasinya sangat rendah untuk dimuat di media yang jelas kredibilitasnya.
Karena media kredibel dipastikan selalu melakukan cek dan ricek informasi
sebelum mempostingnya. Namun, tidak menutup kemungkinan ada juga yang demikian.
Menandai media abal-abal cukuplah mudah. Pertama,
media abal-abal bisa dipastikan tidak jelas nama, alamat, dan rujukannya.
Kedua, media aneh macam ini (red, abal-abal) juga suka menggunakan judul-judul
atraktif dengan umpan balik, misalnya menggunakan istilah “Inilah, Wow,
Terungkap, Ini Dia, Bigini...”, dan masih banyak lagi. Terakhir, biasanya media
ini banyak muncul dikala kontelasi politik sedang memanas misalnya saat pemilu
maupun ditengah munculnya kebijakan baru. Biasanya pula isu yang dibawa tidak
jauh dari unsur SARA, maupun identitas tertentu.
Pamungkas, mengutip apa yang pernah diungkapkan seorang
filsuf kenamaan Cina, Lin Yut'ang, bahwa orang yang tidak mempunyai kebiasaan
membaca yang baik, akan terpenjara dalam dunianya, baik dalam segi waktu dan
ruang. Maka, tidak ada kata terlambat untuk menyebarkan kebaikan. Sekarang,
mari melatih diri berproses menjadi pembaca cerdas. Sekian!.
Erman Istanto, S.Pd. (Lulusan Terbaik Jurusan Politik dan Kewarganegaraan).
Erman Istanto, S.Pd. (Lulusan Terbaik Jurusan Politik dan Kewarganegaraan).
BACA JUGA
loading...
0 Comment for "Jadi Pembaca Cerdas, Ditengah Suburnya Produktivitas Hoak"