loading...
RADARKAMPUS.COM,
Semarang - Ramadhan : Momentum Hijrah Meninggalkan
Kesunyian Kampus, Tidak
perlu diperdebatkan lagi mengenai kemuliaan bulan Ramadhan. Dalam berbagai ayat
Al Qur’an dan Hadits Nabi, sudah banyak dijelaskan bahwa bulan Ramadhan adalah
bulan terbaik diantara bulan-bulan yang lain. Bulan dimana segala amal
perbuatan dilipatgandakan oleh Allah swt. Bulan dimana, bahkan tidurnya orang
puasa pun bernilai ibadah (suatu hal yang sering disalahartikan untuk
bermalas-malasan). Bulan yang jika orang muslim berpuasa akan menemui 2
kenikmatan, yaitu ketika berbuka dan ketika menemui Allah swt kelak. Dan ada
begitu banyak kemuliaan lain dari bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan mengajarkan kita, agar kita terus bekerja
dan beraktifitas meskipun tubuh menderita lapar dan dahaga. Dalam suatu hadits,
bahkan Rasulullah melarang orang untuk bermalas-malasan. Puasa tidak bisa
dijadikan legitimasi bagi kita untuk bermalas-malasan. Artinya, ada sebuah
makna perjuangan disana. Allah swt ingin menguji kita, apakah kita akan tetap fight dan survive meskipun dalam kondisi yang tidak ideal.
Jika kita cermati lagi, kita bisa merefleksikan nilai
perjuangan di bulan Ramadhan ini dengan kondisi pergerakan mahasiswa saat ini. Tahun
1998 selalu menjadi kisah yang tidak akan dilupakan oleh mahasiswa. Euforianya
bahkan masih dirasakan oleh sebagian kalangan hingga saat ini. Tahun dimana mahasiswa
berhasil menumbangkan sebuah rezim yang telah lama mengangkangi negeri ini.
Meskipun ada pihak yang mengklaim bahwa mahasiswa saat itu hanya menjadi
“pion”, tapi kita cukuplah berbangga dengan senior-senior kita, karena bukan tidak
mungkin tanpa mereka yang turun ke jalan waktu itu, kita tidak akan menikmati
zaman keterbukaan seperti saat ini.
Selepas itu hingga saat ini, lambat laun semangat
pergerakan mahasiswa rasa-rasanya mengendur. Agresi teknologi yang begitu cepat
seakan menjadi buah simalakama bagi mahasiswa. Di satu sisi, memang memudahkan
kita untuk berkreasi dan berinovasi, tapi juga membuat kebanyakan mahasiswa
hanya bisa haha-hihi lewat dunia
maya, saling perang capslock, perang #hashtag,
share ini itu tapi ketika bicara di
kehidupan nyata nol besar. Isu-isu strategis dan berdampak bagi masyarakat kita
bukan menjadi kue yang diinginkan oleh banyak mahasiswa, dan seakan hanya
menjadi konsumsi segelintir mahasiswa saja.
Kampus tidak lepas dari hal ini. Bahkan, bisa jadi ada
sebuah grand design yang masif dan
terstruktur yang bertujuan menjauhkan mahasiswa dari kehidupan nyata yang
sebenarnya. Bisa jadi ada pihak-pihak yang tak ingin mahasiswa terlampau kritis
sehingga sebuah “skenario” dijalankan agar mahasiswa menjadi bisu dan kampus
menjadi sunyi. Beberapa permasalahan berikut adalah indikator adanya “skenario”
tersebut.
1. Belenggu budaya
populis-kekinian dan hedonisme
Bagi kawan-kawan yang sering menyelenggarakan diskusi
pasti sudah terbiasa dengan minimnya peserta diskusi yang hadir. Pengalaman pribadi
penulis selama di organisasi kampus menunjukan hal tersebut. Seringkali
kegiatan diskusi hanya dihadiri oleh segelintir mahasiswa yang biasanya itu-itu
saja. Padahal, sebuah diskusi adalah ruang yang amat dibutuhkan oleh mahasiswa
agar membuka pemikirannya. 1 judul buku saja misalnya, jika didiskusikan oleh 5
orang, maka akan ada 5 perspektif yang hadir.
Sayangnya, banyak kegiatan lain yang lebih dianggap keren
dan memberikan rasa nyaman dari diskusi. Jalan-jalan ke mall sama pacar,
misalnya. Atau pergi ke tempat hits bareng kawan-kawan kemudian upload fotonya
di instagram. Sebenarnya tidak masalah melakukan hal tersebut, asal sekali-kali
juga bisa ikut diskusi agar kita berlatih bicara dan memahami suatu
permasalahan.
2. Ancaman
pemanggilan hingga DO buat mereka yang berkoar di kampus
Kisah mahasiswa yang dikeluarkan karena lantang bersuara
di kampus bukan isapan jempol belakar. Masih jelas dalam ingatan kita beberapa
waktu lalu tentang kisah Rony, aktivis mahasiswa UNJ yang dikeluarkan meskipun
kemudian dibatalkan oleh Rektor. Jika melihat di kampus Unnes sendiri, hal yang
biasa terjadi adalah pemanggilan oleh birokrat kampus, bahkan sampai ada yang
rumahnya dikunjungi.
Bagi sebagian orang, hal ini tentu bukan sesuatu yang diharapkan.
Banyak yang menjadikan ini alasan untuk takut berbicara di kampus. Tidak ikut
demo karena takut dipanggil dosen, takut beasiswa dicabut, takut tidak bisa
ikut UAS, dan sederet ketakutan lain.
3. Biaya kuliah
(UKT) yang tinggi
Kita ketahui bersama bahwa sejak mahasiswa angkatan 2013
telah dikenakan sistem UKT. Jika diterapkan dengan baik, proporsional dan
transparan sejatinya sistem UKT yang menawarkan subsidi silang merupakan
jembatan mahasiswa yang kurang mampu untuk tetap bisa menikmati kuliah sesuai
dengan kemampuan pembiayannya. Tapi nyatanya tidak selalu demikian. Sistem
seleksi yang belum sempurna memberikan celah sehingga banyak kasus mahasiswa
yang memperoleh UKT tidak sesuai. Belum lagi, akan diberlakukan lagi SPI bagi
mahasiswa jalur Seleksi Mandiri, meskipun pada akhirnya dibatalkan.
Tingginya biaya UKT akan cenderung membuat mahasiswa
untuk secepat mungkin menyelesaikan kuliah. Dampaknya adalah, mahasiswa
cenderung untuk menghindari kegiatan-kegiatan yang katanya bisa mengganggu kuliahnya, semisal aktif di organisasi,
atau ikut demonstrasi. Bisa jadi,
suatu ketika nanti, akan ada masa dimana posisi Presiden Mahasiswa (yang
biasanya dijabat di semester 8-9) tidak menjadi posisi yang seksi lagi karena mahasiswa enggan
mengorbankan sedikit lagi masa kuliahnya.
Selain tiga poin di atas, tentu masih ada faktor yang
lain. Beban kuliah yang semakin berat dengan tugas akademik yang begitu
memberondong tiap minggunya juga ikut berperan. Tapi menurut saya, tiga poin di
atas yang paling berpengaruh.
Mahasiswa sudah seharusnya berani untuk melihat masalah,
menganalisisnya dan melontarkan alternatif solusi. Bukan sekadar melihat
kemudian melupakannya. Jika selama ini masih banyak mahasiswa (atau bahkan kita
sendiri) enggan mengikuti kajian ilmiah atau diskusi pergerakan, marilah kita
sesekali mencoba untuk duduk bersama dengan kawan yang lain, mungkin saja
diskusi-diskusi yang awalnya kita tidak suka bisa menjadi jatuh cinta. Jika
selama ini kita takut dan enggan untuk aktif berorganisasi atau sekadar
demonstrasi karena takut dipanggil dosen atau bahkan Rektor, marilah kita ubah
paradigma berpikir kita. Yakinlah jika kita menyuarakan hal yang benar, dengan
dasar yang valid dan cara yang santun, tentu tidak ada alasan untuk melarang
suara-suara kita. Kemudian, jangan pula UKT yang tinggi menghambat mahasiswa dalam
berorganisasi. Kembalikan pada diri kita sendiri tentang bagaimana kita
mengatur waktu selama 24 jam. Jika manajemen waktu kita baik tentu
berorganisasi tidak bisa dijadikan kambing hitam jika kita mungkin harus
menunda kelulusan 1-2 semester, misalnya.
Melalui momentum bulan Ramadhan ini, marilah kita
berhijrah dari diri yang lalu menjadi diri yang lebih baik. Mari kita berhijrah
dari seorang mahasiswa yang diam dan enggan bersuara, menuju mahasiswa yang
lantang dan berani bicara. Mari kita berhijrah dari kampus yang menikmati
kesunyian, menuju kampus yang ramah dan ramai dengan suara-suara perubahan.
BACA JUGA
loading...
Labels:
Opini
Thanks for reading Ramadhan: Momentum Hijrah Meninggalkan Kesunyian Kampus. Please share...!
0 Comment for "Ramadhan: Momentum Hijrah Meninggalkan Kesunyian Kampus"