Menolak Lupa “Heroisme” Mahasiswa di Era Kekinian

loading...
sumber gambar diakses melalui anakui.com

RADARKAMPUS.COM I Mahasiswa merupakan aset penerus perjuangan bangsa, aset pembangunan berkelanjutan, dan aset pemimpin masa depan bangsa. Selanjutnya, tidak salah jika banyak orang berpandangan bawasannya mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa dengan dengan segala kemampuan intelektual dan kepemimpinannya. Argumen hipotetikal tersebut memperjelas pandangan kita bahwa mahasiswa secara ideal memiliki peranan yang laten yakni sebagai “agent of change” dan “agent of social control”. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Ilahi (2012) pemuda adalah agen perubahan (agent of change) dan kontrol sosial (social control), yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan segenap potensinya yang berkembang ke arah perubahan fundamental, demi memperkuat kukuhnya integritas bangsa di tengah kecamuk persoalan yang menyerbu bangsa kita.

Namun, jika kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia beberapa dekade terakhir ini nampaknya masyarakat Indonesia tengah mengalami turbulensi moralitas yang cukup kritis, tak terkecuali mahasiswa selaku generasi penerus bangsa. Sehingga tidak salah banyak sekali pendapat yang menyebutkan bahwa mahasiswa saat ini terjebak pada ruang sempit yang mematikan sikap kritis mereka. “Dum vivimus vibaus”  setidaknya itulah adagium yang tepat untuk menggambarkan mahasiswa di era kekinian “nikmati hidup selagi masih hidup”. Berangkat dari pandangan dan gambaran faktual diatas, jelas bawasannya “mahasiswa” selaku penerus masa depan bangsa dewasa ini tengah terjebak dalam mentalitas ke-munafik-an (idiom tidak satunya kata dengan perbuatan).

Menyelami Kembali “Histori” dan “Heroisme” Mahasiswa
Di era kekinian berbagai pengamat menyebutkan bahwa mahasiswa sedang kehilangan gairah dan bisa jadi sedang asik mengikuti “hegemoni” globalisasi. Nampaknya itulah yang akan menetaskan mereka dalam kerangka berpikir “apatis” dan “pragmatis” terhadap berbagai dinamika sosial. Sehingga banyak yang mengidentikan mahasiswa di era kekinian bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Maka dari itu, dalam rangka mengembalikan peran mahasiswa dalam bentangan sosial sebagaimana gambaran ideal yang sesungguhnya, maka kiranya  diperlukan suatu upaya alternatif dan solutif yang harus dan dapat diterima dalam kehidupan praksis yakni memulihkan kembali jiwa- jiwa kepahlawanan mahasiswa yang terdahulu.

Dalam “optik” sejarah hal ini dapat digambarkan dalam pembabagan sebagai berikut. Periode sebelum kemerdekaan, mahasiswa sebagai kaum terpelajar mempelopori terbentuknya organisasi Budi Utomo. Begitu juga ketika mahasiswa berperan sebagai pioner lahirnya ikrar sumpah pemuda. Selanjutnya, mahasiswa juga berperan mendesak Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan RI dengan menculik kedua tokoh nasional tersebut ke Rengasdengklok, Karawang. Berlanjut, pada masa orde lama gerakan mahasiswa mampu menunjukan power-nya kembali sebagai bagian dari kekuatan rakyat. Mereka berhasil menumbangkan kekuatan rezim Soekarno, yang berlanjut pada tranformasi dari orde lama menuju orde baru. Kemudian, peran mahasiswa yang tidak dapat terelakan lagi ialah tatkala tahun 1998 mahasiswa mengalami keberhasilan dengan gerakannya meruntuhkan orde baru. Hingga pada akhirnya, muncul gagasan balance of power atau adanya keseimbangan yang terjadi antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pengontrol segala kebijakan.

Jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa terdahulu yang terbukti “sahih” dalam membela keadilan dan kebenaran atas nama suara rakyat, hendaknya secara ideal mampu di revitalisasikan dalam kehidupan praksis mahasiswa di era kekinian. Dengan demikian, kita harus yakin bahwa mahasiswa pasti mampu bertanggung jawab terhadap peranannya.

Menolak Lupa dengan Menjadi Mahasiswa “Anti-Mainstrem”
Upaya-upaya pertama yang harus dilakukan dalam upaya menjadi mahasiswa anti-mainstrem ialah paham. Mahasiswa dimanifestasikan mampu mengubah mindset bahwa mereka harus tetap survive dan tidak “menghiraukan” segala realitas yang ada. Melainkan mengubah semua itu sebagai sebuah tantangan bersama yang harus segera diselesaikan. Kedua mengoptimalisasikan peranannya dalam upaya memperbaiki dan memulihkan kembali jati diri mereka selaku “agent of change” dan “agent of social control”. Kemudian yang terakhir ialah mahasiswa diekspektasikan mampu menyamakan pandangan (self will) dan mewujudkan kehendak bersama (common- will)  dalam menghayati dan merefleksikan makna mahasiswa yang sesungguhnya.


Berpandangan jauh kedepan namun logis, ketika langkah revitalisasi jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa mampu di implementasikan di era kekinian, bukan perkara sulit mewujudkan generasi emas yang di idamkan oleh para terdahulu kita. Hanya saja kita harus berupaya untuk memahami bahwa “kalo bukan kita siapa lagi?” “kalo tidak sekarang kapan lagi?”. Mari mahasiswa tidak ada kata tidak untuk membangun, dan tidak ada kata tidak untuk berkarya, dan yang terakhir tidak ada kata tidak pula untuk berkontribusi.
BACA JUGA
loading...
Labels: Opini

Thanks for reading Menolak Lupa “Heroisme” Mahasiswa di Era Kekinian. Please share...!

0 Comment for "Menolak Lupa “Heroisme” Mahasiswa di Era Kekinian"

Back To Top