loading...
RADARKAMPUS.COM | Siklus
pendidikan dalam Perguruan Tinggi berbanding lurus dengan siklus kehidupan
mahasiswa sebagai manusia normal. Proses pendidikan akan menuntun mahasiswa
untuk mandiri dan bersosial. Diwujudkan dalam berbagai macam program akademis
maupun non akademis. Hal ini juga akan membuat kebiasaan baru dalam diri
masing-masing mahasiswa. Yang dahulu tidak mengenal apa-apa menjadi tahu
apa-apa (meskipun terkadang setenga-setengah). Proses pendidikan juga menawarkan
kepada mahasiswa wajah dunia sosial dalam bentuk organisasi kemahasiswaan.
Organisasi
kemahasiswaan ada yang dari dalam dan ada organisasi dari luar kampus.
Organisasi dalam kampus dalam pembahasan ini diuraikan akan saling terkait dan
menjadi sasaran infiltasi organisasi di luar kampus. Bukan rahasia umum lagi
bahwa di dunia organisasi kampus penuh dengan infiltrasi politik kepentingan.
Dunia organisasi kampus juga akan penuh ketegangan sosial dan konflik
kepentingan. Suatu keniscayaan menjadi ciri dunia politik kampus yang tak
terelakkan. Kita sebagai mahasiswa tidak dapat terhindar dari siklus ini, baik
disadari maupun tidak, baik memahami maupun terkena dalih.
Kampus
juga menjadi arena pertarungan kepentingan para aktor-aktor mahasiswa yang
dengan dalih secara tulus berorganisasi namun mengantongi berbagai kepentingan.
Mereka, menurut Laode Ida (1995: 88), telah dan tengah mengalami proses
tranformasi pendidikan dari berbagai latar belakang. Kita telah menyaksikan
begitu seringnya terjadi konflik antar organisasi kemahasiswaan di luar kampus,
dengan mendomprengi organisasi kemahasiswaan dalam kampus. Contohnya adalah
pada setiap Pemilihan Umum Raya.
Tidak Menolak Peta Politik
Kampus
Kampus,
telah banyak terbentuk organisasi. Organisasi dalam kampus berwujud Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat Universitas, dan ada BEM tingkat Fakultas
–dahulu bernama Senat Mahasiswa. Di tingkat terkecil ada Himpunan Mahasiswa
atau Himpunan Prodi. Selebihnya adalah organisasi dengan skup bidang keahlian.
Semua itu memiliki tugas dan kewajiban masing-masing. Secara tidak langsung
memang tidak terasa pengaruh apapun ada atau tidaknya organisasi ini. Namun
secara esensi dan penanaman pendidikan politik dan nilai keutamaan, dapat
didapat dari organisasi.
Organisasi
luar kampus, adalah organisasi yang tebentuk atas dasar aliansi dan kepentingan
tujuan organisasi tersebut. Ada beberapa organisasi luar kampus, seperti GMNI
(Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis),
PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), KAMMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), dll.
Dalam tulisan ini tujuannya ingin menjelaskan dua organisasi dengan kekuatan
besar di kampus saya, Universitas Negeri Semarang. Agaknya jika polanya sama di
kampus lain bukanlah soal. Dua organisasi itu adalah PMII dan KAMMI.
Mengapa
mahasiswa? Ia adalah aset lebih tepatnya. Jumlah penduduk usia produktif ada
pada kisaran usia muda. Aset yang banyak ini terwadahi oleh Perguruan Tinggi.
Otomatis akan mencetak manusia terdidik yang siap bersaing dengan segala ilmu
yang dimiliki. Inilah yang dimanfaatkan berbagai kepentingan dari pihak-pihak
Partai Politik atau organisasi dibawahnya. Yang jelas untuk memperoleh
kader-kader potensial untuk memajukan organisasinya di kemudian hari.
Memperoleh pemimpin-pemimpin muda penuh inovasi dan pemikiran baru.
PMII
adalah organisasi kampus pengemban firqah Ahlussunah Waljamaah Nahdlatul Ulama.
Tujuan pergerakannya umum dengan organisasi yang lain. Namun orientasi dalam
kegiatan pergerakan tidak jauh-jauh dari khittah konsep Aswajanya NU. Pada tiap
organisasi luar kampus, dahulunya mempunyai induk atau Onderbouw. PMII meyakinkan dirinya adalah organisasi kemahasiswaan
NU dengan PKB sebagai partainya. Namun setelah NU menyatakan tidak lagi bagian
PKB, PMII sebagai wadah organisasi juga pada akhirnya berdiri sendiri. Kemudian
PMII mempunyai basis masa mahasiswa di tiap kampus, negeri maupun swasta. PMII
mempunyai rekrutmen kader yang signifikan namun tidak mengikat. Maksudnya,
ketika selama menjadi mahasiswa ikut PMII, setelah lulus tidak diwajibkan atau
diharuskan masuk pada Partai apa, melainkan dibebaskan memilih sekehendaknya. Banyak
kader PMII yang masuk Partai Golkar, maupun PDIP atau PPP. Jadi dapat
disimpulkan bahwa PMII bergerak tidak dengan naungan politik praktis diatasnya.
Lain
dengan KAMMI. Organisasi ekstra kampus ini memiliki basis masa yang luar biasa.
Bergerak dengan firqah Gerakan Tarbiyah Ikhwanul Muslim ala Mesir yang diadopsi
cara dan proses pengkaderannya. Ada tiga tujuan utama, yakni membentuk pribadi
muslim, keluarga muslim, hingga masyarakat muslim. Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia bagaikan organisasi ekstraordinary.
Secara hierarkis ia adalah Onderbouw
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). KAMMI menitikberatkan pada proses dakwah.
Dengan aliran masa Lembaga Dakwah Kampus (LDK) atau Rohis pada setiap Fakultas
maupun Jurusan. Sistem pengkaderan ini memiliki posisi yang kuat di lembaga
kampus. Pada setiap kedatangan mahasiswa baru, KAMMI memiliki berbagai cara
untuk mendapatkan konsensus dakwahnya agar diterima sisi positifnya bagi
mahasiswa baru. Bentuknya ada kegiatan ekstra kuliah kampus, pewajiban kegiatan,
atau konsep kost-kostan. KAMMI sendiri meniscayakan keharusan dalam pertarungan
politik guna mendapatkan kursi Presiden Mahasiswa setiap tahunnya. Jabatan yang
tidak terlalu prestise sekali ini menjadi pijakan hegemoni, dan memunculkan
pemimpin-pemimpin muda baru yang siap ditarik keatas untuk masuk dalam tubuh
PKS.
Tidak
ada yang salah. Dalam konteks perjuangan kedua organisasi ini saya akui
mumpuni. Dalam keyakinan pribadi juga saya kira mumpuni. Namun kemurnian dari
suatu kepentingan sudah seharusnya disadari tidak dengan cara-cara yang
memaksa. Bahwa agama atau dakwah dijadikan dalih untuk menarik masa. Merubah
firqah asal mahasiswa baru yang saya yakini banyak dari firqah NU, kemudian
lambat laun tertarik pada garis jalan Tarbiyah Ikhwanul Muslimin atau yang
lain. Ketidaktahuan ini adalah kewajaran bagi mahasiswa baru. Karena saya juga
mengalaminya. Namun ketidakwajaran bagi mahasiswa yang tidak ingin mencari
tahu, atau dengan segampangnya tertarik karena menyentuh perasaan insan qalbu.
Padahal ada kepentingan yang berkait kelindan di belakangnya.
Sudah
umum bahwa jika kita ingin mengetahui kemana arah tujuan yang akan didatangi,
maka kita akan membutuhkan peta sebagai pedoman. Sama halnya dengan peta
politik kampus. Bertujuan memberikan pedoman dan arahan kepada mahasiswa agar
tidak salah jalan atau setidaknya mengetahui arah yang akan dituju. Maka dari
itu mahasiswa jangan pernah sekali-kali menolak peta politik kampus dewasa ini.
Kesewajaran Mahasiswa
Bersikap
Kondisi
organisasi kemahasiswaan yang dipengaruhi faktor luar menggambarkan betapa
rumit mengelola organisasi dalam perkembangan dewasa ini. Banyak dalih yang
semu tak terlihat membuat perasaan setiap mahasiswa yang tahu, menjadi
terombang-ambing. Niat baik mencari ilmu terdistorsi oleh pengkaderan yang
tidak murni bagi mahasiswa yang tidak tahu. Hasilnya adalah organisasi itu akan
menghadapi masa dan aktivis yang semakin kritis menuntut. Kebutuhan
kepemimpinan yang terpilih juga terasa sekali ingin mandiri dan tidak mau
didekte.
Mahasiswa
sudah sewajarnya dengan nalar logika berpikir mampu membuat pilihan. Pilihan
ini apakah dengan paksaan atau hati nurani. Akan lebih indah jika pilihan
berpolitik dan masuk organisasi ini diikuti dengan pengetahuan yang luas apa,
dan bagaimana tujuan organisasi yang dipilih. Tidak ada dari saya menulis ini
memberikan gambaran agar menjauhi atau memihak salahsatu organisasi. Bahwa
tulisan ini akan menjadi refleksi dan bahan diskusi sehat antar mahasiswa.
Terkait
kewajaran mahasiswa bersikap pastilah berbeda. Bergantung tujuan awal dan akhir
kenapa menjadi mahasiswa. Namun ada dua asumsi yang dapat menjadi rujukan. Pertama, sebagai mahasiswa sewajarnya
tahu kondisi fenomenologis berupa dalih, ketegangan, konflik, dan semacamnya,
agar semakin kritis dan potensial jika dikelola dengan baik. Kedua, kampus sebagai pembina mahasiswa
harus diletakkan sebagai “Bapak atau orangtua”
dalam setiap lini kehidupan kampus, sedangkan mahasiswa memposisikan
diri sebagai “anak”. Jadi senakal apapun para “anak” dia akan tetap menghargai
orangtuanya.
Yang
terakhir bahwa sebagai mahasiswa yang duduk di organisasi harus mampu mengelola
organisasi tersebut secara mandiri dan murni. Kemandirian ini perlu dimulai
dengan kedewasaan politik dari kalangan aktivis mahasiswa organisasi tersebut.
Dalam konteks kepentingan dan politik praktis yang masuk kampus. Kita hendaknya
pandai-pandai mengelola sumberdaya termasuk ketegangan dan konflik yang
terjadi. Kita hendaknya memurnikan tujuan baik kita dalam berorganisasi. Maka
dari itu pilihan atau paksaan adalah keniscayaan.
*Tulisan dari Muhammad Ulil
Fachrudin Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah Univ Negeri Semarang angkatan 2012
BACA JUGA
loading...
Labels:
Opini
Thanks for reading Dalih Organisasi Kampus: Pilihan atau Paksaan. Please share...!
0 Comment for "Dalih Organisasi Kampus: Pilihan atau Paksaan"